Bima adalah sebutan untuk daerah yang terletak di ujung timur Pulau Sumbawa, Provinsi NTB.Ada dua nama untuk menyebut daerah ini, yakni Bima dan Mbojo.Istilah “Bima” lazim dipakai dalam percakapan resmi, formal, nasional(Indonesia), sementara “Mbojo”adalah istilah lokal yang mencerminkan sebuah kultur, meliputi cara berbahasa, berpakaian dan pernak-pernik budaya lainnya. Jadi, Mbojo juga termasukKabupaten Dompu(berbahasa, berpakaian dan berbudaya Mbojo), tidak hanya Kabupaten Bima atau Kota Bima saja. Dengan demikian, ketiga wilayah administratif tersebut (Kab. Bima, Kota Bima dan Kab. Dompu)adalah representasi Suku Mbojo. Selain itu, di NTB terdapat pula Suku Samawa meliputi Kab. Sumbawa dan Kab. Sumbawa Barat, dan Suku Sasak di Pulau Lombok, ditambah suku-suku pendatang.
Kini, Bima memasuki usia yang ke-376, setelah diproklamirkan pada tanggal 5 Juli 1640 M, oleh Abdul Kahir-Sultan Bima Pertama. Figur Abdul Kahir adalah peletak dasar bangunan peradaban Bima yang menjadikan Islam sebagai sumber tatanan nilai dalam kehidupan pemerintahan, perundang-perundangan dan peradilan maupun corak kemasyarakatan serta kebudayaan. Maka, terbentuklah kesultanan Islam Bima yang kelak menjadi kesultanan yang kesohor di timur nusantara seperti diakui oleh sejarawan Inggris-Peter Carey dalam sejumlah karya tulisnya.
Dalam era kekinian, Bima kemudian tumbuh dan berkembang seiring dengan geliat pembangunan baik fisik maupun non-fisik. Dari segi sumber daya alam (SDA), ada beberapa produk daerah yang menjadi primadona seperti bawang merah, jagung, ikan tangkap, rumput laut, kuda, sapi, madu, susu kuda liar dan sebagainya. Dari segi sumber daya manusia (SDM), pada umumnya orang Bima berprofesi sebagai petani, nelayan, guru, tenaga kesehatan, senang pula menjadi polisi atau tentara. Tak sedikit jugayang bergelut di bidang bisnis dan politik, hingga menjadi pengusaha maupun pejabat.
Orang Bima juga suka merantau. Di tanah rantau, sebut saja di ibukota Jakarta, beragam profesi dan pekerjaan digeluti ‘Bima Perantauan’, daripenjual obat gosok hingga pimpinan puncak lembaga negara. Dari preman sampai ulama kelas global. Di balik itu, ada catatan yang menjadi potret buram Dou Mbojo, yakni tawuran antar kampung yang kerap disorot media massa nasional. Penyakit sosial ini adalah PR kita bersama untuk mengatasinya agar tidak menjadi “duri” yang mengganggu roda pembangunan dan merusak citra daerah.
Ke depannya, “surplus energi” itu semestinya diarahkan ke “tawuran gagasan” atau “polemik wacana”, berbentuk produktifitas intelektual yang mendorong etos literasi, percikan-percikan akademik dan reproduksi pengetahuan. Hal inilah yang akan saya coba uraikan bahwa terkhusus sejarah dan kebudayaan Bima – sebagaimana suku-suku lain di bumi nusantara –sudah banyak menarik perhatian para peneliti baik lokal, nasional maupun dari luar negeri. Lalu, lahirlah beragam literatur yang kelak menjadi rujukan para ilmuwan di segala bidang, dari ilmu sejarah dan kebudayaan hingga sosial-politik maupun hukum.
Ada satu hal khusus yang menarik perhatian saya setelah membuka kembali buku-buku tentang Bima, yakni asal-usul Bima (Mbojo). Bisa dikatakan sebagai “mudik spiritual”, menapaktilasi asal-usul, menziarahi masa lalu, guna menafsir masa depan, sambil membuka memori lama narasi tentang Bima dan Mbojo. Kebetulan, saat menulis catatan ini, bertepatan dengan HUT Bima yang ke-376, dan jelang akhir bulan ramadhan (persiapan menyambut ‘Idul Fitri), sekaligus awal mentransformasikan nilai-nilai ramadhan ke dalam ritual kehidupan di bulan-bulan yang akan datang.
Lalu, apa pentingnya membincang sejarah? Sejarah adalah sarana bercermin untuk menafsir masa depan. Pemahaman yang mendalam atas sejarah asal-usul menjadi penting sebagai pijakan untuk melangkah maju, bukan hanya untuk hari ini, melainkan demi hari esok yang lebih baik. Semangat itulah yang harus direfleksikan dalam membangun bangsa, negara dan khususnya daerah. Dalam kaitan dengan proyeksi masa depan, tak elok kita abaikan nilai-nilai sejarah yang melekat dalam perjalanan suku bangsa, Bima. Ada beberapa buku sejarah Bima yang terbilang representatif. Maka, disini saya cukup mengkompilasi beberapa pandangan sejarawan dan budayawan yang ada, disertai catatan reflektif.
Di antaranya tulisan-tulisan tentang Bima, sebut saja “Kerajaan Bima Dalam Sastra & Sejarah” tulisan ilmuwan Perancis Chambert-Loir (2004);“Cerita Asal Bangsa Jin dan Segala Dewa-Dewa”oleh Chambert-Loir (1985); Bo’ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima – yang ditulis oleh Siti Maryam & Chambert-Loir (2000);Bo: Suatu Himpunan Catatan Kuno Daerah Bima oleh L. Massir Q. Abdullah (1981); “Sejarah Bima Dana Mbojo”olehAbdullah Tajib (1995); “PeranKesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara” oleh M. Hilir Ismail (2004); “Ensiklopedia Bima” olehMuslimin Hamzah (2004), dan sebagainya.
Ada juga tulisan Antropolog Amerika Serikat - Peter Just, berjudul “Dou Donggo Justice: Conflict and Morality in an Indonesian Society(2000)”dan “Dead Goats and Broken Betrothals: Liability and Equity in Dou Donggo Law” (1988); “Abandoning The ‘Garden of Magic’ : Islamic modernism and contested spirit assertions in Bima” oleh Michael Prager (2010); “Being Muslim in Bima, West Nusa Tenggara” oleh Muhammad Adlin Sila (2014); “Malay Letters as Legacies of the Local Kingdoms on the Island of Sumbawa, Indonesia”, oleh Surya Suryadi (2009). Di samping itu, tentu masih banyak buku-buku sejenis, termasuk tulisan-tulisan berbentuk opini, essai dan artikel di pelbagai media massa, jurnal, bunga rampai dan juga media online. Termasuk juga berbentuk skripsi, tesis dan disertasi tentang Bima.
Mengenai asal-usul nama ‘Bima’ (juga mbojo), ada sedikit pemerhati sejarah yang bernada ‘menggelitik’ terhadap mainstreamkesejarahan tentang Bima, lalu melahirkan ‘polemik’ yang menyertainya.Akan tetapi, kita tetap menatapnya secara positif dan konstruktif. Artinya Bima memang tak henti-hentinya “dicari” lewat lensa akademis. Dengan begitu, kekayaan khazanah pemikiran tentang Bima, dengan segala serba-serbinya tetap harus diapresiasi sebagai bercak-bercak pemikiran.
Bangsa bisa besar karena lembar-lembar polemik. Budayawan dan tokoh politik kawakan Ridwan Saidi pernah mengatakan bahwa debat (diskusi, polemik, dialog dan istilah sejenis) perlu dihidupkan lagi sebagaimana para tokoh dahulu berdebat. Asalkan bertanggung jawab secara akademis, terbuka, dan mengedepankan etika, misalnya argumentasi dilawan dengan argumentasi, bukan menyerang personal, apalagi debat kusir atau adu fisik. Dengan cara itulah, sebuah suku bangsa dapat menjadi lebih maju dan beradab.
Mari kita kembali ke Bima. Dalam Bo’Sangaji Kai, Sang Bima adalahAristokrat Jawa yang datang ke Dana Mbojo (Tanah Bima) hingga mendirikan dinasti kerajaan setelah melewati rangkaian ‘proses politik’ dengan elite pribumi–Ncuhi.Sang Bima adalah putra dari Maharaja Pandu Dewanata. Pandu Dewanata adalah anak dari Maharaja Tunggal Pandita, dianggap merupakan asal-usul raja-raja Bima. Sedangkan, saudara Tunggal Pandita yaitu: Maharaja Indra Ratu merupakan asal-usul raja-raja Luwu dan Sawerigading di Sulawesi Selatan. Berdasarkan keterangan Bo’, Sang Bima lantas dianggap sebagai orang yang berjasa dalam pendirian kerajaan Bima.
Peran kesejarahan Sang Bima yang dicatat Bo’, selanjutnya dikukuhkan oleh sejarawan selanjutnya. Sebut saja Abdullah Tajib (1995) dalam buku Sejarah Bima Dana Mbojo, kemudian Hilir Ismail (2004) dalam buku Peran Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, dan beberapa sejarawan lain, yang intinya mengatakan bahwa Sang Bima adalah pendatang dari Jawa yang mendirikan kerajaan Bima. Hal ini juga dibenarkan Sejarawan Helius Syamsuddin, dalam anggapan adat masyarakat Bima, tokoh Pandawa, Sang Bima, bukan sekadar mitologis. Dia dipercayai sebagai tokoh yang pernah “hidup”, yang “nyata” dan yang “historis”. Sang Bima diyakini sebagai seorang aristokrat atau anggota elite tradisional, yang berasal dari Jawa.
Sedangkan nama Mbojo, menurut Hilir Ismail (2004) berasal dari kata Babuju, yaitu; bukit yang menjadi tempat berlangsungnya musyawarah para Ncuhi. Karena keputusan yang dihasilkan dalam musyawarah itu sangat penting, maka bukit itu dianggap sebagai tempat yang bersejarah. Sehingga diambil sebagai nama daerah kerajaan, yang menjadi wilayah-wilayah kekuasaan mereka selama ini. Dari sinilah lahir nama Mbojo. Saat sekarang, lokasi itu sudah ditempati oleh bangunan suci agama Hindu Darma.
Alan Malingi dalam salah satu bukunya bertajuk “Legenda Tanah Bima”. Malingi (2008) menceritakan (juga mengacu catatan Bo Sangaja Kai) bahwa pada saat Sang Bima hendak meninggalkan Bima, dia didatangi oleh para Ncuhi (Kepala Suku) untuk dimintai kesediaan menjadi pemimpin tanah Bima. Pada saat itu, Sang Bima sedang memahat tebing di mulut Kota Bima, tepatnya di kaki bukit Lembo, dusun Sowa, Desa Kananta, kecamatan Soromandi (kecamatan hasil pemekaran dari kecamatan Donggo).
Sementara itu, Muslimin Hamzah sejarawan “kritis”, memberikan narasi kebaruan mengenai Sang Bima. “Menggugat Sang Bima” adalah salah satu karya intelektualnya yang mengguncang blantika pemikiran kesejarahan Bima. Hamzah (2010) menolakkonstruksi dinasti Sang Bima, apalagi dibumbui perihal mitologis dan mistik-klenik sebagaimana tergambar dalam catatanBo’.Kendati begitu, Epos Bo’ tetaplah dirawat sebagai warisan nenek moyang guna meneropong sejarah lewat bangunan pemikiran analitik, obyektifikasi akademis, ilmiah dan rasional.
Lalu siapa sosok Sang Bima? Dalam versi Muslimin Hamzah, bahwa “Sang Bima” adalah “Gajah Mada”. Menurutnya, Sang Bima adalah nama spiritual Gajah Mada –yang merujuk pada sosok Maha Patih Kerajaan Majapahit sebagai personifikasi dari Sang Bima dalam dunia pewayangan. Seperti tercatat dalam sejarah nasional, Gajah Mada memang pernah melawat ke arah timur (nusantara)bertepatan dengan Ekspedisi Padompo (Dompu)lewat spirit Sumpah Palapauntuk menyatukan simpul nusantara. Bersamaan dengan itu pula, ia pun menjadifounding fathernegeri Bima. Kira-kira demikian menurut Muslimin Hamzah dalam sejumlah kesempatan.
Hal ini segaris dengan uraian sejarawan UI, Agus Aris Munandar, dalam bukunya, “Gajah Mada, Biografi Politik”, yang pada pokoknya bahwa Gajah Mada merupakan tokoh yang dipuja-puja dan dikultus oleh masyarakat kala itu. Lalu untuk mengenang Gajah Mada itu,maka dibuatkan arca perwujudan, diprasastikan dalam nama “Bima” untuk menyebut daerah yang “dibidik” dulu sewaktu ekspedisi padompo berlangsung. Jadi, Gajah Mada disamakan dengan sosok Bima.
Hal serupa pula dikatakan intelektual muda NU Dzul Amirul Haq (Gus Irul), bahwaSang Bima adalah nama yang merujuk pada sosok Gajah Mada dengan maksud mengelabui identitas, saat memimpin ekspedisi (padompo) ke kampung halamannya sendiri. Karena boleh jadi, menurut Direktur Fitua Institute itu –(yang juga semakin menegaskan pandangan Muslimin Hamzah di atas) –kalangan masyarakat saat itu sudah akrab dengan legenda-legenda Mahabrata, Gajah Mada ingin memunculkan dirinya sebagai sosok titisan dewa yang membawa perubahan bagi kampung halamannya sendiri.
Pandangan Gus Irul yang juga pemerhati sejarah itu dapat dilihat dalam tulisannya di website Fitua bertajuk “Tujuh Alasan Kenapa Gajah Mada Dianggap Berasal Dari Bima”.Salah satu alasan yang diuraikan ituantara laindari segi nama, penggunaan kata “Mada” di belakang namanya menandakan sebuah penegasan dan pengakuan eksistensi dirinya. Gajah Mada seolah menunjukkan bahwa postur tubuhnya kuat kekar seperti Gajah. Kata Mada dalam bahasa Bima berarti “Saya” sebagai pengucapan merendahkan diri dan menegaskan sikap di hadapan seorang penguasa. Gajah dalam mitologi sansekerta kuno adalah lambang kesaktian bagi orang asing (Ingat kisah Ganesha kecil dari India), sekaligus pangkat khusus kemiliteran dalam kerajaan. Di Donggo terdapat situs prasasti Wadu Pa’a yang dipercaya turun temurun sebagai bekas tapak kaki Gajah Mada. Dalam tradisi kuno, setiap orang yang hendak moksa biasanya meninggalkan jejak kaki terakhir untuk dipahat pada sebuah batu di tanah tumpah darahnya.
Pendekatan yang ‘purifikatif’, ‘reformis’,dikemukakan intelektual muda Muhammadiyah - Syarifuddin Jurdi (Dosen Sosiologi Politik UINAlauddin Makassar) dalam tulisannya “Perspektif Alternatif tentang Bima” di bukunya berjudul “Islam, Masyarakat Madani dan Demokrasi di Bima”. Jurdi (2007) dalam uraiannya, menganut pemahaman bahwa Bima dan Mbojo merupakan dua hal yang berbeda, karena itu merasa perlu memberikan perbedaan antara dua istilah yang melekat dengan daerah ini tidak sekedar persoalan bahasa, tetapi lebih dari itu, perbedaan itu mengandung makna-makna esensial dan prinsip atau teologis keagamaan dan kultural. Mbojo mengandung makna teologi, karena kata Mbojo sering dikaitkan dengan Babuju yang berorientasi tinggi – dalam terminologi agama yang tinggi merupakan orientasi religius, bahkan dalam soal lain istilah Babuju, Kabuju dan Kandese merupakan bagian yang religius – istilah religius tentu sebuah interpretasi atas makna-makna filosofis yang terkandung dalam agama.
Sebagai catatan, pendapat yang berkembang mengenai istilah Mbojo pada sisi lain bahkan - pada batas tertentu - menjadi kelaziman adalah bahwa Mbojo berasal dari bahasa Jawa, “Bojo”, yang berartisuami atau istri. Basiskeilmiahannyamerujuk padaepisode sejarah tatkala Sang Bima mengawini istri - Putri Pulau Satonda - Bima. Diapun memanggil istrinya, bojo, maka tersebutlah mbojo, sehingga rakyatnya juga menyebut kawasan ini sebagai mbojo (Bima) sebagai penghormatan pada Sang Bima yang kelak mendirikan kerajaan Bima.
Dalam hal istilah Bima, Syarifuddin Jurdi (2007) yang merujuk pada sebagian elite Islam (intelektual, ulama, pemuka adat dan elite sosial kemasyarakatan) menganggap nama Bima bukanlah bersumber pada mitos, legenda dan takhayul yang bernama Sang Bima, artinya nama Bima bukanlah berasal dari Sang Bima, sebagian menolak kalau nama Bima atau pemberian nama Bima itu berasal dari nama “kompeni” Sang Bima.
Seperti ditulis Syarifuddin Jurdi (2007) yang menyebut bahwa Bima berasal dari Bismillahirrahmanirrahim. Kata ini sendiri dirujuk pada al-Qur’an yang dijadikan pedoman hidup warga masyarakatnya. Artinya Bismillah merupakan bahasa yang diucapkan oleh kaum muslimin dalam memulai seluruh aktifitas kehidupannya di muka bumi ini, baik ketika ia menunaikan kewajiban ritualnya dengan Tuhan (Allah SWT) seperti shalat maupun dalam rutinitas sosial sehari-hari, artinya Bismillah sebagai permulaan dari seluruh kegiatan. Tokoh-tokoh yang disebutkan diatas meyakininya, bahwa Bima merupakan komunitas sosial politik dan kultural yang didiami oleh kaum muslimin dan nilai-nilai yang eksis dalam kehidupan warga masyarakatnya adalah nilai-nilai atau tradisi Islam yang otentik.
Bagaimana dengan asal-usul orang Bima? Menurut Hilir Ismail (2004), terdiri dari Orang Donggo, Orang Bima dan kaum pendatang. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa Dou Donggo merupakan penduduk yang paling lama mendiami daerah Bima kalau dibanding suku lain. Mereka dianggap sebagai penduduk asli Bima. Dou Donggo bermukim di daerah pegunungan dari dataran tinggi yang jauh dari pesisir. Mereka memiliki bahasa dan adat istiadat yang berbeda dengan Dou Mbojo (Orang Bima).
Dou Mbojo (Orang Bima)merupakan pembauran orang Bima dengan Makassar dan Bugis, sebagai akibat dari hubungan yang sudah terjalin dengan baik sejak masa kerajaan, terutama pada masa Raja Manggampo Donggo dan Tureli Nggampo Ma Wa’a Bilmana.Sejak berdirinya Kesultanan Bima tahun 1633, hubungan Bima dengan Makassar semakin erat.Orang Makassar, Bugis dan Sulawesi Selatan lainnya bertambah banyak yang datang ke Bima. Mereka terdiri dari pedagang, politisi, ulama, pelaut dan militer. Kedatangan mereka di Bima dalam rangka ikut membantu perkembangan politik dan agama di Bima. Mereka sudah menganut agama Islam. Masyarakat yang lahir dari pembauran inilah yang terkenal dengan nama Dou Mbojo (Orang Bima).
Adat istiadat dan bahasa Dou Mbojo tidak lain dari perpaduan adat istiadat asli Bima dengan adat istiadat Sulawesi Selatan terutama Makassar dan Bugis. Dou Mbojo merupakan penganut Islam yang taat, sehingga dalam kehidupan sosial budaya sehari-hari selalu diwarnai oleh Islam. Kehidupan Dou Mbojo berdasarkan adat dan sara (hukum). Walaupun di kalangan Dou Mbojo mengenal bermacam-macam golongan masyarakat seperti sultan/raja, bangsawan dan rakyat biasa, namun hubungan ketiga golongan tersebut tetap bersifat demokratis dalam pengertian tidak kelihatan pengaruh feodalisme.
Sementara kaum Pendatang, yang paling besar pengaruhnya ialah “Dou Malaju” (Orang Melayu) dan “Dou Ara” (Orang Arab). Latar belakang kedatangan mereka ke Bima sama dengan latar belakang kehadiran orang Makassar dan Bugis. Pada awal masa kesultanan, mereka mulai datang ke Bima dalam rangka menyiarkan agama Islam dan berdagang. Mereka banyak yang menjadi ulama dan mubalig yang terkenal pada masa kesultanan.Kedudukan mereka sebagai ulama amat dihormati baik oleh rakyat maupun kalangan istana. Pada masa kesultanan ikut berperan di dalam lembaga pemerintahan terutama dalam lembaga sara hukum.
Dalam kaitan itu pula, Julhaidin - ketua umum Tambora Study Club (TSC) Bima-Makassar dalam tulisannya bertajuk “Dou Mbojo atau Bimakah kita” seperti dimuat di website Bimacenter.com, menegaskan kembali hal itu bahwa “kita” adalah Dou Bima (orang Bima) bukan Dou Mbojo (orang Mbojo). Yang berhak menyandang gelar Dou Mbojo adalah masyarakat Donggo dan Sambori saja. Sedangkan Dou Bima adalah blasteran dari berbagai asal keturunan (Jawa, Makassar, Bugis, Gujarat, Cina, Arab dan lain-lain). Belakangan dalam riset Komunitas Babuju yang dipimpin Julhaidin (Rangga Babuju) mempertanyakan keberadaan “kerajaan Kalepe” di Parado yang tidak dimuat dalam catatanBo’ Sangaji Kai. Mengenai “kerajaan Kalepe” ini barangkali perlu kajian khusus agar semakin melengkapi khazanah sejarah Bima.
Uraian di atas menjadi panduan bagi kita dalam merumuskan identitas kebimaan guna menyongsong masa depan yang berpijak pada kesadaran historis. Yang saya mau katakan disini juga adalah bahwa banyaknya literatur dan karya ilmiah para peneliti domestik maupun asing tentang Bima sebagaimana dijelaskan di atas, merefleksikan bahwa Bima terdapat “mutiara-mutiara terpendam” dalam konstelasi dunia penelitian di pelbagai bidang untuk digali, tak pelak mengundang ketertarikan para ilmuwan lokal, nasional hingga luar negeri. Semuanyaharus apresiasi, sekalipun yang bernada polemik. Dalam konteks polemik kebudayaan tentang sejarah kebimaan (terutama asal-usul Bima, Mbojo) mengingatkan saya – pada skala tertentu – sewaktu polemik kebudayaan dalam pergulatan pemikiran sejarah kebangsaan Indonesia antara Sutan Takdir Alisjahbanadengan Sanusi Pane.
Sutan Takdir Alisjahbanalewat tulisannya bertajuk Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Pra-Indonesia membedakan “Zaman pra-Indonesia” (berlangsung hingga akhir abad ke-19) dan “zaman Indonesia” (mulai awal abad ke-20). Ia juga menegaskan tentang lahirnya zaman Indonesia Baru, yang bukan sambungan dari generasi Mataram, Sunda, Minangkabau atau Melayu, tapi Indonesia Baru yang katanya perlu berorientasi ke Barat secara kultural agar menjadi maju.
Sedangkan tanggapan dari Sanusi Pane tercermin pada tulisannya berjudul Persatuan Indonesia, yang menegaskan: “Zaman sekarang ialah sambungan zaman dahulu. Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust dan Arjuna, memesrakan materialisme, intellectualisme dan individulisme dengan spiritualisme, perasaan dan collectivisme”. Pada akhirnya kemudian terjadi polemik secara luas yang melibatkan sejumlah tokoh-tokoh besar, yakni Sutan Takdir Alisjahbana, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara. Hasil polemik kemudian dibukukan oleh Achdiat K. Mihardja berjudul Polemik Kebudayaan yang terbit pada tahun 1948.
Pada tataran polemik kebudayaan skala lokal Bima, hal tersebut tak kalah menarik, malah bagus dan produktif. Dan tentu mestiberpijak pada bangunan akademik yang memadai. Supaya apa? Agar kita tak henti-hentinya “mencari” Bima, bahkan “menjadi” Bima, dalam arti yang sesungguhnya. Sebab, energiinti suatu suku bangsa adalah reproduksi intelektualitas yang penuh gairah, etos literasi yang menguat, dan mekarnya generasi pelintas batasyang bisa menghadirkan refleksi atas kondisi kekinian, membaca semangat zaman, serta mendesain peta strategik masa depan.
Bima, sebagai salah satu suku bangsa di bumi nusantara, tampaknya telah, sedang dan akan memiliki kekayaan dan kekuatan berbasis pemikiran kritis, reflektif dan progresif dari lapisan generasi baru sebagai penggerak dinamika Dou Labo Dana Mbojo. Tentu saja, yang idealadalah pengayaan refleksi gagasan dari semua lapisan. Atas perpaduan “generasi baru” dan “generasi lama”, lalu mengelaborasi kitab Bo’ dan ragam multi-tafsir yang melingkupinya, sembari memperkaya wacana lewat literatur mutakhir, maka pergulatan kesejarahan Bima akan menghadirkan dialog-dialog yang konstruktif, kemudian dari situlah kita bisa berpijak untuk memproyeksi masa depan, dimana sejarah dijadikan sebagai kaca bening untuk bercermin.
Sudah saatnya kalangan pegiat komunitas sejarah dan budaya di Bima, mendirikan semacam rumah budaya dan pusat kajian, dan bila perlu dibangun perpustakaan besar sebagai oase intelektual di tengah cuaca kultural Dana Mbojo yang panas. Dari situlah, kita dapat “mencari” Bima secara terstruktur, sistematis dan massif. Selamat Hari Jadi Bima yang ke-376. Semoga hari esok lebih baik daripada hari ini. Kalembo Ade.
Oleh : Mawardin Sidik
Penulis adalah pemerhati sejarah dan budaya Bimaserta editor mbojoklopedia
Luar biasa bagusnya artikel ini, sangat menarik, salut
BalasHapusMantap, referensinya bagus.
BalasHapus