Kalau semisal perang Aceh dan perang Jawa itu didukung penuh oleh raja atau sultannya, sedangkan perang Bima justru tidak didukung oleh sultan, malahan rakyatnya dianggap sebagai pembangkang. Memang saat itu, posisi kesultanan Bima sangat sulit, terlebih disandera kolonialis Belanda. Itulah sebabnya, rakyat Bima menentang ketidakadilan kolonialis Belanda, sekaligus menjaga martabat kesultanan Bima agar tidak terjebak dalam cengkraman penjajah. Tak pelak, percikan embun kebijaksanaanpemuka-pemuka masyarakat itu kemudian merekatkan soliditas antara ulama dan umara beserta umat untuk bersama-sama mengusir penjajah.
Perang para Ulama di Sumatera yang disebut Perang Padri, Krijgstaferelen van de oorlog op Sumatra. (oleh : G. Keeper) |
Meski harus diakui persenjataan penjajah Belanda, juga Nippon belakangan sangat canggih, namun tidak menyurutkan langkah perjuangan rakyat untuk mempertahankan tanah air tumpah darahnya. Sumber daya persenjataanyang terbatas tidak membuat para pejuang merasa ciut nyalinya, tidak lantas memudar, apalagi padam. Malahan, nyalanasionalisme sekaligus keagamaan tetap berkobar-kobar. Dalam perang Bima, ideologi Lewa Sabi (perang sabil) dijadikan sebagai sumber energi perlawanan. Mobilisasi rakyat ketika itu dikobarkan dengan resolusi jihad, bahwa menentang penjajah hukumnya wajib dan darah yang tercecer di medan jihad adalah darah syuhada (orang yang berjuang di jalan Allah), jihad fi sabilillah.
Semangat resolusi jihad itu dapat ditelusuri ketika Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari (kakek Gus Dur) pada waktu itu menyerukan kepada seluruh elemen rakyat Indonesia untuk melawan penjajah. Lalu,menggemalahistilah Resolusi Jihad yang merujuk pada kewajiban bagi semua umat Islam untuk ikut serta membela tanah air dari kaum kolonialis Belanda, sebagai bagian tak terpisahkan juga dari ekspresi rasa keimanan, dimana dalilnya adalah Hubbul Wathan Minal Iman (cinta tanah air sebagian dari iman).
Ideologi Perang Sabil (lewa sabi) dalam perjuangan rakyat Bima melawan penjajah, ikutberpengaruh terhadap menggumpalnya energi rakyat merebut kemerdekaan. Pergolakan rakyat Bima kemudian dipompa para ulamayang menggelorakan semangat jihad membebaskan negeri dari cengkraman kuku penjajah. Pada tahun 1906, adalah awal dari pertikaian,lantaran Belanda menerapkan pajak bagi rakyat kesultanan Bima. Kebijakan (politik) Belanda seperti itu kemudian ditentang oleh beberapa tokoh masyarakat Bima.
Rakyat Bima semakin benci kepada Belanda yang dinilai memeras keringat dan darah rakyat. Beberapa pemuka (Ompu)dari kampung Ngali dan sekitarnya mengadakan perlawanan. Dengan bermarkas di kampung Ngali, orang Bima yang dipelopori rakyat kampung Ngali dan sekitarnya mengangkat senjata melawan Belanda. Peristiwa itu terkenal dengan Perang Ngali (1908). Pemimpin mereka yang terkenal waktu itu antara lain : Haji Yasin alias Hadji SE, Haji Said dan banyak lagi yang lainnya.
Menyitir Rahman(2009: 99), bahwa Lewa Ngali (Perang Ngali) yang terjadi pada tahun 1908 yang disebabkan antara lain :
- Tidak mau tunduk pada orang-orang kafir/Belanda (mereka memanggil orang Belanda dengan Dou Kafi atau orang kafir) karena ulama-ulama di Desa Ngali yang baru datang dari Mekah mengeluarkan fatwa haram tunduk terhadap orang kafir.
- Belanda mengerjakan kerja paksa, dan rakyat tidak mau membayar pajak.
Ketika serdadu marsose Belanda di bawah pimpinan letnan Vastenour menyerang dan menyerbu kampung Ngali, orang Ngali mengadakan perlawanan hebat dengan mengandalkan siasat menjebak musuh masuk kolong rumah, dimana sudah dihadang oleh perempuan bersenjatakan lira (tenun) mengakibatkan tewasnya letnan Vastenour. Belanda akhirnya meminta bantuan Sultan Bima membujuk pimpinan rakyat tersebut. Walaupun demikian, bukan berarti perlawanan rakyat selesai. Di beberapa distrik terjadi perlawanan seperti perlawanan rakyat kampung Dena, perlawanan Donggo dan lain-lain.
Ketika Ompu Kapa’a (Tokoh Perang Ngali) bermaksud menyelinap menghadap Raja Bicara pada suatu malam, ia tertangkap pasukan marsose Belanda. Memang ia awalnya disiksa, tapi awalnya, Ompu Kapa’a dapat mengatasinya. Meski akhirnya ia kemudian meninggal sebagai syuhada dalam perang tersebut.Ompu Kapa’a adalahgelarang (kepala desa) Ngali sekaligus orang ‘alim yang dikenal rajin shalat malam.
Salah satu tokoh Perang Ngali yang misterius adalah Syekh Abdul Karim Bogoda. Ia tiba-tiba muncul menjelang pecah Perang Ngali. Dan setelah usai Perang Ngali, ia pun dikatakan hilang secara misterius. Ibu Aminah binti KH. Muhammad Said bin Syekh Abubakar, (istri H.Mochtar Zakaria, mantan wakil Wali Kota Jakarta Pusat dan mantan Wali Kota Jakarta Selatan), menceritakan pertemuannya dengan keluarga almarhum Ali Alatas (mantan menteri luar negeri) pada tahun 1982 di Petamburan Jakarta, seperti ditulis Pak Marwan Saridjo (2012). Dalam pertemuan tersebut, Umi Muniroh sepupu Ali Alatas, setelah mengetahui Ibu Aminah dari Bima, ia menyatakan bahwa kakek buyutnya, bernama Syekh Abdul Karim, di masa penjajahan dulu, sering pergi ke tempat-tempat peperangan penduduk pribumi melawan kaum penjajah Belanda. Kebiasaan almarhum Abdul Karim, ketika ia mendengar akan terjadi peperangan di suatu tempat (daerah) tiba–tiba muncul secara misterius.
Di kawasan Sila meletus Perang Dena. Dalam siasat Perang Dena (1910), masjid dijadikan sebagai pusat komando. Rakyat menamakan dirinya dengan Tentara Sabi (Sabilillah). Para ulama menjadi garda terdepan memimpin jihad. H. Usman, seorang ulama Dena turun langsung ke medan laga perjuangan, bertindak sebagai panglima perang, dibantu H. Abdul Aziz.Senjata tradisional sepertikeris, parang, golok dan tombak dipakai oleh rakyat Dena saat perang sabil itu. Kemudian, tampil pula H. Abdurrahimyang akrab disapa Ompu Barahi. Selain punya banyak senjata keris, ia lihai pula membentuk ‘pasukan berani mati’ yang dibekali ilmu ngaji besi, ditambahjimatyang bertuliskan kalimat Allah pada rajah yang bahan dasarnya dari kulit kerbau. Ritual semacam itu, dalam apa yang disebut sebagai magico-mistisism (Islam)memanglazim dipakai di kalangan masyarakat sarungan yang bercorak tradisionalisme Islam, apalagi pada zaman dahulu kala sebagai “gula” perjuangan.
Kita pun bisa membandingkan dengan Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro tak bisa dilepaskan juga dengan simbol mistik, seperti penggunaan jimat dan ilmu kebal. Menyitir Bahaudin (2010), peneliti politik dan mistik Kejawen jebolan UIN Syarif Hidayatullah menjelaskan, bahwa kebutuhan pokok akan kekuatan ghaib,terutama kekebalan, merupakan modal utama yang dimiliki oleh setiap tokoh dalam menghimpun dan mencari sebanyak mungkin pengikut. Pasukan Diponegoro sering kali menggunakan rajah-rajah atau pakaian magis, yang sering disebut dengan istilah kotang antakusumo (semacam rompi yang dibuat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, pada saat sidang para walidi Demak, yang bahan dasarnya adalah kulit domba, yang diberikan langsungoleh Kanjeng Nabi Muhammad) dan nyanyian-nyanyian khusus untukmembuat diri mereka tidak kelihatan sehingga menjadi kebal terhadap senjatamusuh.
Mistifikasi simbol-simbol itu mungkin sah-sah saja khusus pada waktu itu sebagai pemicu sentimen emosional untuk memobilisasi semangat perlawanan, sebagaimana juga agama sebagai sumber legitimasi untuk menstimulus gelora perjuangan, khususnya gegap gempita jihad. Akan tetapi, mesti dilihat secara holistik dan integral kalau ditarik ke ruang kekinian. Sebagai contoh, ketika itu perlawanan rakyat dipicu oleh semangat jihad menentang Dou Kafi “orang kafir” tidak berarti kemudian di era sekarang, lantas kita membunuh semua orang di luar dari golongan kita yang dicap ‘kafir’. Justru semangat resolusi jihad sebagaimana digelorakan oleh kyai Hasyim kalau diletakkan dalam bingkai kontemporer adalah mencintai tanah air, mengisi kemerdekaan dengan melakukan jihad-jihad prioritas di bidang pendidikan, pemberdayaan ekonomi, sosial dan dakwah persuasif, penuh cinta dan kasih sayang.
Bukan penyempitan makna jihad (qital), berbuat teror dan bom bunuh diri dan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan Irhabis-Takfiri, yang sungguh bertentangan dengan ajaran Islam, budaya nusantara dan peradaban universal. Mayoritas ulama malahan menyerukan kepada umat muslim untukmelakukan jihad melawan hawa nafsu amarah, nafsu kekerasan, lalu menumbuhkan pohon perdamaian untuk tempat kita bernaung dengan sesama umat manusia yang beragam latar belakang agama, suku dan golongan sebagai sebuah sunnatullah.
Karena itulah, hal-hal yang mesti kita pelajari dari semangat juang para ulama Bima dalam Lewa Sabi itu, adalah berani menentang kepada siapapun, sekalipun itu penguasa asalkan ia berbuat kemungkaran, harus dilawan. Pelajaran berharga juga adalah pantang menyerah walau ‘senjata’ dalam keadaan terbatas, harus rela berkorban untuk mempertahankan harkat dan martabat bangsa dan negara. Islam adalah agama perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Hal itu pula yang sudah dicontohkan oleh ulama haramain - Syekh Abdul Gani yang lahir dan besar di Bima pada akhir pemerintahan Sultan Abdullah (1854-1868) sampai dengan awal pemerintahan Sultan Ibrahim (1881-1951) tak hanya mengaji tapi juga‘turun gunung’ bersama rakyat Bima melawan kolonialisme.
Syekh Abdul Gani Al-Bimawi dikenal memiliki keluasan cakrawala ilmu, keluhuran budi pekerti dan akhlak, karomah yang luar biasa dan anti penjajahan. Sebagai moyang ulama nusantara, beliau bukan hanya dikenal oleh masyarakat Bima dan Dompu, tetapi juga terkenal di Pulau Jawa, seluruh wilayah nusantara dan dunia Islam internasional.Beliau bersama Syekh Ahmad Khatib Sambas, dan Imam Nawawi Al-Bantani, menjadi ulama kesohor di Mekkah, lalu menjadi tempat berguru para ulama nusantara yang kelak punya andil besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pemberdayaan umat seperti Syekh Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama/NU) dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah).
Menyitir catatan sejarawan Hilir Ismail (2008), selain syekh Abdul Gani Al-Bimawi, ada banyak tokoh ulama Bima yang terlibat dalam perjuangan melawan penjajah. Adapun tokoh-tokoh Perang Dena adalah H. Ibrahim Abu Sara, H. Usman Abu Bada, dan H. Abdul Aziz. Diantara ulama istana selaku unsur pimpinan lembaga Syara hukum yang aktif dalam Lewa Sabi adalah Syekh Haji Yasin Gilipanda, Syekh Mansyur, bersama putranya Syekh Muhammad dan Syekh Mahdali (Syekh Boe). Syekh Mansyur dan Syekh Muhammad turun ke desa-desa untuk berkhotbah dan bertabligh di hadapan masyarakat. Isinya menggugah masyarakat untuk melawan kedzaliman dou kafi Belanda. Syekh Boe mengadakan kegiatan yang sama di Dompu. Mengajak umat Islam Dompu untuk memberikan dukungan kepada perjuangan saudara-saudaranya di Bima. Tokoh ulama istana H. Yasin Gilipanda aktif sebagai salah seorang tokoh Perang Ngali, Mufti H. Abubakar Nata ikut merestui perjuangan para ulama.Ulama di luar istana juga tidak tinggal diam. Mereka aktif menyadarkan masyarakat tentang kewajiban dalam menegakkan amar makruf dan melawan munkar.
Di Desa Ngali sebagai pusat perjuangan, tampil seorang ulama terkemuka yang bernama H. Muhammad Said (Ruma Tua Sigi) dan beberapa ulama Desa Ngali lain. Diikuti pula oleh para ulama desa-desa lain, seperti H. Arsyad Nata (Ruma Guru Nata), H. Muhammad Nur Teke (Ruma Guru Mpako), H. Abdul Karim Dodu (Ruma Jado), dan ulama-ulama terkemuka di Sumi, Simpasai dan Lanta Kejenelian Sape. Ulama di Desa Dena sebagai pusat perjuangan, para ulama terkemuka seperti H. Usman, H. Abdul Aziz selain memotivasi rakyat untuk ikut lewa sabi, mereka ikut maju ke medan laga memimpin laskar menghadapi pasukan kolonial Belanda. Ketiganya bersama ulama Rasanggaro dan sekitar mengadakan khotbah dan tabligh di Rasanggaro. Mereka menganjurkan kepada masyarakat, agar mendukung perjuangan melawan dou kafi.
Perang melawan Belanda juga terjadi di Donggo, yakni Perang Kala. MenurutMustahid (2013) dan sumber catatan sejarah Bima, bahwa Perang Kalameletus lantaran dipicu oleh arogansi kolonial Belanda yang memaksa rakyat Donggo untuk kerja Rodi dan pemungutan pajak, terjadi antara tahun 1908 sampai 1910 yang berantai dengan Perang Ngali, Perang Rasanggaro dan Perang Dena. Akibatnya rakyat bangkit melawan kolonialis Belanda. Ompu Ntehi, Ngkati, dan Wa’I Ncahu, Ompu Sella telah berhasil mengobarkan api perjuangan bangsa melawan Belanda, walau dengan senjata tradisional berupa golok, keris, bambu runcing. Mereka tidak gentar menghadapi tembakan senjata modern serdadu Belanda. Dengan tekad bulat, semangat yang membaja untuk berkorban demi kemerdekaan tanah air dan bangsa menjadi modal utama untuk mengusir Belanda. Tokoh pejuang Kala seperti Ompu Ntehi, Ncahu, Mangge dkk bersama rakyat melakukan perang sabil. Dengan teriakan takbir dan tahlil menyebabkan perang melawan Belanda berkobar.
Nilai-nilai yang terkandung dalam perjuangan ulama Bima dalam Lewa Sabi itu, paling pokokbahwa gelarang dan ulama bersama rakyat sejatinya didorong oleh rasa kecintaan terhadap tanah airyang bersenyawa dengan nilai-nilai keagamaan. Itu artinya, antara keislaman dan kebangsaan adalah satu tarikan nafas. Kira-kira seperti itulah peran ulama Bima, dan pada akhirnya kita dapat mengibarkan bendera merah putih, membumikan Pancasila dan menghirup ‘oksigen’ kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-71 saat ini.
Bahan Bacaan:
- Haji Kako, Mustahid. 2013. Peristiwa Donggo. Mataram: PT Lombok Post
- Ismail, M. Hilir. 2008. Kebangkitan Islam Dana Mbojo. Bogor: Penerbit Binasti.
- Rahman, Fachrir. 2009. Islam di Bima: Kajian Historis Islamisasi Era Kesultanan. Mataram : Alam Tara Institute.
- Saridjo, Marwan. 2012. Perang Ngali Sebuah Perang Sabil: Seperti Perang Jawa Dipimpin Kesatria Berdarah Bima PangeranDiponegoro.Bogor: Yayasan Ngali Aksara & Al Manar Press.
Oleh : Mawardin Sidik
Penulis adalah pemerhati sejarah dan budaya Bima, serta editor mbojoklopedia.com
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar