Dou Donggo atau masyarakat Donggo merupakan salah satu etnis yang ada di dana Mbojo(Bima-Dompu)yang mendiami wilayah di bagian Barat dana Mbojo tepatnya di lereng Gunung Mboha, Gunung Sori Mandi, Gunung Sangari dan sepanjang pesisir pantai bagian Barat teluk Bima. Kini, keberadaan dou Donggo berada 2 kecematan di kabupaten Bima (Donggo dan Sorimandi) serta 3 kecematan di kabupaten Dompu (Woja, Manggelewa dan Dompu). Banyak pakar yang menyatakan bahwa masyarakat kecamatan Donggo dewasa ini sedang mengalami masa pancaroba yang amat dahsyat sebagai akibat tuntutan reformasi secara menyeluruh. Sedangkan tuntutan reformasi itu berpangkal pada kegiatan pembangunan Nasional yang menerapkan teknologi maju untuk mempercepat pelaksanaan pembangunannya. Dilain pihak, penerapan teknologi maju itu menuntut acuan Nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan orientasi baru. Tidaklah mengherankan apabila masyarakat Bima yang majemuk dengan multi kulturalnya itu seolah-olah mengalami kebimbangan dalam menata kembali tatanan social-politik dan kebudayaan saat ini.
Perempuan dan anak di desa Mbawa, Donggo. (Sumber : Mbojoklopedia) |
Dou Donggo memang satu fenomena yang khas yang ada di dana Mbojo pada zaman dahulu, sebab masyarakat Donggo saat itu adalah orang yang sangat berpegang teguh pada nilai-nilai peninggalan leluhur mereka. Ketika ada yang menghina dan mengganggu ajaran leluhur mereka, nyawa menjadi taruhannya, betapa tidak dou Donggo adalah salah satu etnis yang fanatik dengan ide dan keyakinan yang mereka fahami, bahkan hingga kini keberanian dan keteguhan hati para generasi modern masih mendarah daging dalam diri mereka bahkan telah menyatu dalam hati mereka. Begitu pula ketika dou Donggo menjadikan islam sebagai agama resmi yang dianut oleh masyarakatnya, sebab islam dalam pandangan mereka adalah ajaran yang suci yang tidak bisa dicampuradukan dengan penyembahan berhala-berhala dan percaya kekuatan lain selain sang Khaliq (pencipta alam). Meski dou Donggo baru mengambil islam sebagai agama dan keyakinan mereka kira-kira akhir tahun 1950-an, tapi semangat keislamannya sangat kuat, sangat kental bahkan sangat fanatik terhadap keislamannya. Saya kita dou Mbojo memiliki semangat keislaman yang tidak berbeda dengan dou Donggo sebab masyarakat Donggo adalah bagian dari dou Mbojo.
Ketika penulis melihat semangat keislaman dou Donggo, mereka adalah masyarakat tradisional yang menerima islam dengan tulus dengan alasan yang penting ada argumen yang jelasa yang sesuai dengan dalil dalam al-Qur’an dan sunnah. Sebabajaran Islamlah yang mengubah tatanan masyarakat Donggo dari penyembah berhala paganisme menjadi penganut islam yang ta’at. Meskipun, nilai-nilai, normal, dan tradisi telah banyak disepakati untuk mengatur tradisi dan budaya (culture) masyarakat Donggo, namun ada juga yang pantang melanggar norma tersebut dan tentunya yang melanggar akan dikenakan sanksi tegas, sebagaimana 15 tahun yang lalu di desa OO Donggo penulis menyaksikan sendiri ada beberapa orang yang diusir (diasingkan) dari kampong halaman karena melanggar norma adat yang telah disepakati.
Culture dou Donggo tampaknya telah hilang, telahmengalami kelelahandan ketidakberdayaan dou Donggo yang terkadang terisolir dan inklusif dalam memahami kehidupan modern bahkan kehilangan generasi untuk melanjutkan budaya dou Donggo yang menjunjung tinggi norma adat. Mungkin juga disebabkan oleh komunitas culture masyarakat yang kebiasaan mereka menjadi peladang yang berpindah-pindah tempat. Cara pemanfaatan lahan seperti itupun akhirnya telah merenggut alam dan lingkungan Donggo yang semakin meluas. Sehingga, benar bahwa dou Donggo adalah masyarakat dari hutan ke hutan, gelar diberikan karena kebiasaan mereka berladang yang pindah-pindah tempat (no maden). Atau juga mungkin karena banyak generasi (intelektual) Donggo yang memilih tinggal diperantuan dan besar di negeri orang sehingga terjadi krisis generasi yang akut bahkan sulit disembuhkan. Tetapi, kita tetap optimis suatu saat ada generasi yang memperbaiki masyarakatnya sebagaimana ada ungkapan bahwa setiap sejarah pasti ada pahlawannya masing-masing.
Bukan dou Donggo namanya bila tidak memiliki keberanian dalam menghadapi tantangan kehidupan dimanapun mereka berada. Mereka juga dikenal sebagai orang yang sangat menghargai orang yang paling tua, guru-guru mereka dan menjunjung tinggi persahabatan serta sangat fanatik untuk membela pemimpin yang benar. Tapi ketika mereka dikhianati, mereka berani pasang badan (menantang) untuk bertarung seperti ksatria yang membela kehormatan harga dirinya. Seperti contoh sikap yang ditunjukan oleh ksatria Donggo H. Kako, H. Marzuki dan La Deo Opu So yang menggelar ‘makka’ (semboyan atau sumpah) untuk menantang kemunafikan dan melawan penghianatan pemerintah Bima Letkol Suharmaji Tahun 1972 atas perjanjiannya. Semboyan mereka adalah sebagai berikut:
“Ta rumae.......! Ake sahe rangga tuntu, nggara ngawa si tanggiru di dana tere, tahopu ta nggiru di dana piri”.
Semboyan ini bermakna bahwa seorang laki-laki yang pantang mundur membela kebenaran walau darah mengalir. Makka tersebut disebutkan untuk menyindir utusan pemerintah dengan masing-masing menggunakan Cila lapi (pedang), sampari (keris) dan buja (tombak).Saat itu H. Kako dengan kekuatan gaibnya melipat pedang yang ia bawa, La Deo meluruskan kembali pedang yang dilipat tersebut. Sedangkan H. Marzuki mengiris tangan kirinya dan mengeluarkan darah segar, kemudian bekas luka ditangannya beliau hanya meniup pada luka tersebut dan akhirnya sembuh, semua bisa terjadi atas kekuasaan, kekuatan dan izin Allah SWT.
Bersatunya dou Donggo bisa dilihat pada peristiwa yang terjadi tepat pada Tanggal 22 Juni Tahun 1972. Peristiwa tersebut adalah peristiwa kelahiran kembali dou Donggo yang biasa tren dengan nama‘Peristiwa Donggo 1972’. Pasca peristiwa Donggo saat itu banyak kaum muda Donggo mendapat pendidikan lebih baik. Namun sayang, hanya terkonsentrasi pada profesi guru dan sebagian tentara. Trauma peristiwa Donggo-1972 mendorong mereka berbondong-bondong masuk angkatan bersenjata. Tapi hanya sedikit di antara mereka yang mengabdi di daerahnya, selebihnya di luar daerahnya. Gelombang kaum muda Donggo yang sekolah di Jawa ikut meninggalkan peta sosial dan budaya yang buram di daerahnya, bahkan praktis kekurangan Sumber Daya Manusia (SDM) berbakat di kampunya.
Betapa tidak mereka seperti batu yang dilempar ke Jawa, tidak pernah kembali ke kampung halaman. Salah satu yang menganjal adalah tidak adanya mentalitas wirausaha pada sebagian besar kaum muda. Generasi muda Donggo juga banyak yang enggan kembali ke akar tradisinya sebagai petani. Mereka lebih gagah kalau menjadi orang kantoran dan Pegawai Negeri Sipil (PNS), padahal untuk membangun Donggo menjadi lebih maju dan mampu menggali potensinya dengan optimal diperlukan tenaga-tenaga serta sarjana-sarjana pertanian dan peternakan yang mempunyai kompetensi di bidang masing-masing.
Suatu fakta sejarah yang tak terbantahkan dan selalu diingat oleh generasi muda donggo dari masa ke masa, lihatlah kasus Pemilu 1971 di Bajo, peristiwa Donggo-1972. Beberapa peristiwa besar di Jakarta, dou Donggo yang tergabung dalam Ikatan Pelajar Mahasiswa Donggo Bima (IPMDB) tidak pernah absen mengkritisi kebijakan dzolim penguasa orde baru. Sebut saja kasus suku, agama, ras, antara golongan (SARA) dan penghancuran tempat maksiat, penolakan pengesahan rancangan undang-undang perkawinan (RUUP) 1974, kasus peledakan bank BCA 24 Maret 1978 dan usaha penggagalan Sidang Umum MPR di depan Trisakti. Semua contoh kasus tersebut adalah bukti kecil keberanian dou Donggo dalam menyelamatkan bangsa dan negeri yang dicintainya dari kejahatan pemegang kekuasaan rezim dzolim.Bersambung...![]
Oleh: Didi Haryono, S.Si., M.Si
(Akademisi & Peneliti, Tinggal di Makassar)
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar