Pada masa orde baru pemerintahan kabupaten Bima merupakan pemerintahan dikendalikan oleh militer, semua sistem di pegang oleh komandan militer. Pemerintahan kabupaten Bima dibawah pimpinan Soharmaji berpangkat letkol, merupakan sala satu contoh dari pemerintah yang berasal dari militer yang menjalankan roda pemerintahan di Bima. Pemerintah daerah Tingkat I dan Tingkat II semuanya dari militer yang merupakan perpanjangan dari pusat pemerintahan di Jakarta, DPR hanya sebagai simbol demokrasi saja tanpa ada fungsinya yang berarti.
Mencermati kehidupan dou Donggo yang pada dasarnya adalah sebagian masyarakat yang mendiami daerah pegunungan hidup dan kehidupannya tergantung dari adanya perkembangan potensi daerah yang sebagian dikelolah oleh pemerintah kabupaten Bima dan sebagian yang lain dikelolah oleh pemerintah kabupaten Dompu berjalan sesuai dengan kebijakan yang ada. Cikal bakal meletusnya peristiwa donggo-1972 berawal dari sebuah kebohongan atas janji bupati Bima Letkol Soeharmadji terhadap masyarakat Donggo-Bima, dimana janji pembangunan di segala sektor tidak pernah terealisasi dari beberapa item kesepakatan dengan masyarakat donggo (ceklines).
Dou Donggo ketika sedang ritual meminta hujan, foto di dokumentasi oleh seorang antroplog Jerman bernama Johannes Elbert tahun 1908. (sumber : Johanes Elbert) |
Peristiwa Donggo-1972 merupakan akumulasi dari situasi kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah kabupaten Bima. Dou donggo mewakili aspirasi masyarakat yang tampil sebagai bagian aturan di Bima. Bagaimanapun juga bahwa dou donggo merupakan anak kandung dari ibu pertiwi yang tidak bisa dipisahkan dari bagian kekuasaan kabupaten Bima. Penderitaan dou donggo adalah penderitaan kita semua yang juga penderitaan masyarakat Bima dan penderitaan bangsa Indonesia pada umumnya. Menurut H. Mustahid (2013) bahwa pemerintah Bima saat itu sudah membuat rakyatnya sengsara dan menderita, tekanan batin kronis yang disebabkan tersumbatnya jalur transformasi ilmu pengetahuan, ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat Bima.
Penyelenggaraan negara dengan sistem pemerintahan desentralisasi mengoptimalkan peran serta rakyat secara langsung, terutama dalam penyaluran aspirasi politiknya pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) maupun pemilihan presiden (Pilpres). Berbeda dengan sistem pemerintahan sentralisasi yang merupakan sistem pemerintahan yang memungkinkan pihak penguasa melakukan segala macam tipuan politik seperti rekayasa politik, paksaan kehendak. Penetapan dan penyeragaman sistem demokrasi pancasila dan UUD-1945 oleh pemerintah orde baru membuat orang hanya mampu berteriak keras tetapi sembunyi sebab jikalaw tidak maka bisa diculik dan hilang, tidak ada yang berani mengkritik kebijakan status quo, semua orang hidup tidak sesuai dengan kehendak batinnya, hidup yang tertata dan dipaksa untuk mengikuti ideologi penguasa serta “haram” membicarakan ideologi tandingan apalagi mencoba melawan.
Peristiwa donggo-1972 yang dimotori oleh tim lima yang mengegerkan Indonesia timur saat itu, mereka adalah KH. Abdul Majid (desa O’o), H. Ali Ta’amin (desa O’o), Jamaluddin H. Yasin (desa Kala) dan H. Abbas Oya (desa Dori Dungga). Pada pelaksanaan do’a syukuran di desa Kala yang dihadiri oleh seluruh orang Donggo kabupaten Bima–Dompu dan aparat Tripika Donggo atas keselamatan Tragedi Mesjid Bajo, terutama karena tidak ada jatuhnya korban jiwa. Acara syukuran tersebut sebagai lambing motivasi dou donggo untuk berjuang membela kebenaran meski nyawa menjadi taruhan, sekaligus sebagai persiapan untuk long march menuju kantor bupati Bima. Menurut Ghazaly (2008) bahwa KH. Abdul Majid Bakry meminta kepada masyarakat donggo supaya dalam menyampaikan aspirasi ke kantor bupati Bima jangan mencaci- maki pihak lain dan tidak membawa senjata tajam, karena bisa saja pemerintah berpretensi (beranggapan) negatif terhadap masyarakat Donggo.
Pada waktu syukuran di Desa kala, masyarakat Donggo sepakat untuk mendatangi Bupati Seoharmaji guna menagih janjinya untuk membangun Mesjid, sekolah, mengaspal jalan dan memasukkan listrik ke Donggo. Di pagi hari doa syukuran, massa Donggo pria dan wanita turun ke Bima melewati Bajo, Sila, Sondosia dan Pandai sambil membawa parang, keris, tombak dan pentungan. Hal tersebut dilakukan karena khawatir pulang malam sehingga untuk berjaga-jaga dari serangan binatang buas di jalan yang mereka lewati. H. Mustahid (2013) menuturkan bahwa masyarakat Donggo mengikuti long murch dengan hati yang ikhlas, salawat Nabi saw dikumandangkan, takbir dan tahlil pun diperdengarkan kepada massa sebagai pertanda jihad fisabilillah membela yang benar dan menegakan keadilan di Bima (dana mbojo). Dengan semangat yang membara didadanya, massa merespon dan menyatakan bahwa segala bentuk kejahatan, kedzoliman dan kemunafikan yang tumbuh di dana mbojo harus dilawan walaupun darah menjadi taruhannya.
Ba’da shalat dzuhur di Sila dou donggo singgah di sungai Kancoa Rida untuk melaksanakan shalat. Selesai shalat perjalanan di lanjutkan ke Bima, pada waktu tengah malam di Pandai, sudah ada anggota DPRD dan ABRI/ POLRI yang datang menghadang dou donggo supaya tidak masuk kota Bima. Keadaan yang tidak kondisif membuat Jamaludin H. Yasin mengambil mikrofon, ia memberi aba-aba agar masyarakat bersiap-siap dan menahan diri jangan sampai terpancing orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Massa dou Donggo tetap tenang berada pada barisan, sementara pihak aparat meminta masyarakat Donggo untuk tiarap, sehingga suasana sat itu menjadi sedikit gaduh.
Berkat ketabahan masing-masing pihak akhirnya dicapai kata sepakat. Terjadilah “Kesepakatan Pandai” yang berisi: Masyarakat Donggo kembali ke Donggo, dalam waktu tiga hari sejak kesepakatan sudah ada jawaban resmi pemerintah terhadap tuntutan masyarakat Donggo yaitu diterima atau tidaknya tuntutan tersebut. Selanjutnya masa membubarkan diri kembali ke Donggo menelusuri jalan pulang ke Donggo dalam kegelapan malam. Malam itu ada yang pulang melalui Bajo dan ada yang pulang melalui dusun Kamunti. Menurut Ghazali (2008) bahwa rentang waktu menanti jawaban hasil kesepakatan Pandai, masyarakat Donggo tidak melakukan aksi apapun, kecuali menunggu janji dari Bima.
Sedangkan, intelijen sudah mulai berkeliaran di kecamatan Donggo, mereka meminta masyarakat Donggo ke Pasanggraha untuk di foto sambil memegang senjata tajam seperti tombak, parang, keris dan lain-lain. Namanya orang Desa. Senang sekali ingin di foto apalagi gratis. Mereka di foto sepuas-puasnya, malang tak dapat di tolak, yang memotret mereka adalah aparat intelijen yang sedang mencari data faktual sebagai bukti orang Donggo mau memberontak dengan menggunakan senjata tajam. Sedangkan pihak pemerintah di bawah Komando Letkol (Purn) Seoharmaji, menurut bocoran dari sebuah sumber prodemonstran sedang merancang penangkapan tokoh Donggo oleh ABRI yang didatangkan dari NTB dan Bali.
Pemerintah Bupati Bima Seoharmaji memerintahkan ABRI/ POLRI untuk segera menangkap para pelaku Peristiwa Donggo. Operasi penangkapan dilakukan pada malam hari dan berhasil menangkap tokoh Mahasiswa Jakarta yaitu H. Abbas Oya B.A, yang kemudian di bawah ke Bajo. Sukses menangkap rombongan H Ali Ta’amin, dilanjutkan penangkapan secara membabi buta terhadap tokoh Donggo lain hingga membuat situasi semakin mencekam. Ini menimbulkan kerisauan dikalangan masyarakat Donggo terutama nasib mereka yang tertangkap. Sepekan lamanya peristiwa pemberontakan masyarakat Donggo menjadi top new (laporan Utama) seluruh media massa Nasional, elektronika maupun media cetak yang memuat berita pemberontakan versi pemerintahan cq Humas Pemda Propinsi NTB. Situasi justru semakin tidak karuan karena ABRI/ POLRI kian beringas menganiaya setiap orang Donggo yang dijumpainya.
Masih menurut Ghazali (2008) bahwa Donggo praktis dikuasai tentara dan polisi, urat nadi kehidupan orang di sana terhenti, semua rumah penduduk di geledah. Harta benda, uang, emas, dan perak digondol oknum ABRI/ POLRI bahkan hewan ternak dijadikan sebagai santapan mereka di jalan-jalan. Ibu-ibu dan anak gadis Donggo pun tidak luput dari upaya pelecehan seksual. Dalilnya mencari keberadaan tokoh yang belum tertangkap. Yaitu Abdul Majid dan H. Kako. Kekejaman yang dilakukan oleh ABRI/ POLRI semakin menjadi-jadi, mereka bagaikan bola yang ditendang ke sana-sini, direndam di laut hingga malam hari, siang hari dipaksa menatap matahari. Sebagian besar ABRI/ POLRI baik yang berpakaian dinas maupun preman sudah memenuhi seluruh Desa di Kecamatan Donggo, dengan konsentrasi di O’o dan Kala tempat kediaman kelima tokoh tersebut yang masih misterius. Persidangan pertama Peristiwa Donggo, 14 Mei 1973, di Pengadilan Negeri Raba Bima. Selanjutnya dilaksanakan dua kali seminggu dengan dihadiri ribuan pengunjung yang datang dari berbagai penjuru di Kabupaten Bima.
Mungkin dalam sejarah banyak perkara yang telah disidangkan, tapi persidangan inilah yang memecahkan rekor teramat ramai dan meriah seperti massa kampanye pemilihan umum, aparat keamanan kewalahan mengaturnya. Dalam tuntutan yang dibacakan sendiri oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Iskandar, menuntut hukuman mati bagi ke lima terdakwa karena melakukan makar yaitu melawan pemerintahan yang sah dengan tuduhan melanggar pasal 1 Penpres nomor 11 tentang subversi, pasal 108 jo 64 KUHP, pasal 160 jo 64 KUHP, pasal 14 UU nomor 1/ 1966 dan Penpres nomor 5/ 1963. Tetapi tuntutan tersebut tidak dapat dibuktikan secara hukum, akhirnya pembela terdakwa Abdullah Mahmud, S.H dan Ibrahim Muhammad Iskandar S. H. sebagai hal mengada-ngada dan tidak berdasar sama sekali. Akhirnya setelah melalui perdebatan panjang antar penuntut umum dengan tim pembela terdakwah pelaku Peristiwa Donggo, kelima terdakwa di vonis hukuman penjara masing-masing antara dua hingga lima tahun. H. Kako dihukum 2 tahun, KH. Abdul Majid dihukum 2,5 tahun, H. Ali Ta’amin 3 tahun, sementara Jamaluddin dan H. Abbas Oya dihukum 5 tahun. Hukuman tersebut harus mereka terima sebagai konsekuensi dari mahalnya harga perjuangan mereka, penguasa saat itulah yang dzolim dan khianat dengan janji yang mereka ucapkan. Kelima tokoh tersebut merupakan sejarah kebangkitan dou donggo yang sebelumnya dipandang sebelah mata, bahkan sebagai bahan ejekan dan olokan oleh sebagaian orang kota atau orang “berdarah biru”.
Agar perjuangan para tokoh Donggo tidak sirna begitu saja, maka generasi penerus selalu hadir mengedukasi masyarakat agar dou donggo harus bangkit menjawab dan memberikan solusi persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Semoga tulisan ini memberikan vitamin agar spirit pembangkit energi semangat juang dou donggo yang tertidur pulas untuk bangun dan bangkit dengan segera agar cepat menyelamatkan dou donggo yang telah lama termarjinalkan oleh masa. Sebagai pemuda Donggo pada khususnya dan pemuda Indonesia pada umumnya, mari kita tunjukan karya kita sebagai generasi penerus yang akan dihargai oleh zaman. Penulis berdo’a semoga jasa suci mereka dibalas oleh Allah SWT dengan kebahagian dunia dan kebahagiaan akhirat yang tak tertandingi. Aamiin...!!! []
Oleh: Didi Haryono, S.Si., M.Si
(Akademisi & Peneliti, Tinggal di Makassar)
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar