Peternak kuda di Empang tahun 1920, (Sumber foto KITLV) |
Korban jiwa yang dialami oleh Sumbawa mencapai 300 orang, dan Empang hancur lebur rumah-rumah dibakar, serta kuda kerbau di ambil pula. Dalam hal ini kesultanan Sumbawa meminta ganti rugi sesuai dengan kerugian yang di alami oleh Empang. Sultan Sumbawa meminta ganti rugi sebesar 1080 real kepada Dompu, tulisnya dalam surat tersebut.
Namun Sultan Dompu menyangkal telah menyerang Empang dan sebaliknya oleh Sultan Dompu menuduh orang Sumbawalah yang akan menyerang Dompu dan masuk kewilayahnya tanpa ijin.
Pasukan Kesultanan Sumbawa akan menuju Dompu, dipastikan perang besar akan terjadi namun ditengah jalan sekitaran Tumpu (Nanga Tumpu) di hadang oleh beberapa pejabat Bima dan Kompeni untuk mendamaikan kedua belah pihak yang akan bertikai tersebut.
Dalam naskah surat Sultan Sumbawa yang di transkrip oleh Mahyudin tahun 1983, Dompu awalnya tidak mengakui menyerang Sumbawa, dalam naskah tersebut di tulis "Tiada sekali-kali kami tahu, asal mulanya dan barang sesuatu hal kesalahan kami kepada tanah Sumbawa, melainkan kami terkejut juga dilanggar negeri kami oleh orang Sumbawa adanya," kata Sultan Dompu kepada Kompeni.
Setelah bermufakat lama Bima dan Kompeni mengeluarkan pernyataan siapa yang tidak mau mengakui kesalahan dan tidak mau menyepakati perdamaian maka akan dijadikan musuh bersama, akhirnya Dompu mengakui dan menceritakan awal mula kejadian yang memicu peperangan tersebut.
"Asal mulanya, Ada orang Dompu, orang Ngaji, hilang dia punya kuda. Lalu dia mengikat kudanya ke tanah Sumbawa, apa yang bertemu dengan Dompo, lalu dia masuk di negeri-negeri disisipkan, dia tiada boleh dapat kudanya, lalu ia kembali ke Dompo, maka dia bilang ke Raja Dompo, yang orang Sumbawa, tiada mau kasi dia empunya kuda,” (surat-surat dan catatan harian kerajaan Bima, 1983).
Mendengar aduan dari orang tersebut Sultan Dompu tanpa mempertimbangkan konsekuensi yang akan terjadi dan tidak terlebih dahulu mencari kebenarannya, dia (Raja) mengumpulkan pasukannya untuk menyerang Empang.
Padahal kuda tersebut tiada satu orangpun melihatnya, kemudian yang punya kuda melaporkan kepada Sultan Dompu bahwa kudanya tidak diberikan oleh orang Sumbawa.
Setelah kedua pihak di damaikan dan tidak ada lagi sengketa, Dompu tidak mampu membayar ganti rugi kepada Sumbawa, akhirnya kompeni membayarkan kepada Sumbawa semua ganti rugi dengan catatan Dompu terhitung berhutang kepada Kompeni, (Mayudin, 1983).
Dilihat dari tahun kejadian pertikaian tersebut yaitu 1865 masehi, di Dompu ketika itu sedang berkuasa Sultan Muhammad Salahudin yang naik tahta tahun 1857. Sedangkan di Sumbawa yaitu Sultan Amrullah naik tahta pada 1843 masehi, dan di Bima ketika itu diwakili oleh Raja Bicara Abdul Nabi yang ketika itu usianya sudah sangat dituakan.
Oleh : Fahrurizki
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar