Pemandian Hotel Maria`s Wawo tahun 1949, atau dikenal Oi Wobo. (Fotografer, Tallie) |
Namun sebagian juga menetap di gunung hingga membentuk desa-desa tertua pegunungan seperti Donggo, Lambitu, dan Wawo. Orang pegunungan dalam bahasa Bima lama disebut Dou Donggo, Dou yang berarti orang sedangkan Donggo yang berarti pegunungan,(Jonker, 1893).
Untuk wilayah Lambitu dan Wawo disebut Donggo Ele yang berarti pegunungan timur dan Donggo disebut Donggo Di yang berarti pegunungan barat. Dari beberapa desa pegunungan yang masih bertahan hingga kini, dahulu mempunyai bahasa masing-masing yang berbeda di tiap wilayah mereka, namun Wawo dan Donggo sudah terkontaminasi oleh bahasa Bima dataran rendah (Mbojo), hanya Lambitu yang masih bertahan dengan bahasa asli mereka Inge Ndai.
Pada daerah Bima ada beberapa tempat pegunungan untuk menunjukkan desa-desa dataran tinggi dengan menyebutnya “ese” (tinggi) yaitu ese Donggo, ese Parado, ese kolo dan ese Wawo. Untuk ese Kolo sendiri telah hilang, dapat dipastikan turun ke dataran dan menetap di pesisir areal teluk Bima itupun dibuktikan dengan adanya bahasa tersendiri di Kolo dulunya, sebutan untuk mereka yang menghuni di pegunungan di sebut ‘Dou Doro” dan mereka juga bisa disebut sebagai Suku Mbojo asli.
Dalam hal ini untuk Wawo mempunyai makna lain dari nama Donggo (pegunungan) dalam bahasa Bima “Wawo” mempunyai arti yaitu paling atas, secara harfiah desa ini adalah Desa yang paling tinggi di Bima sekitaran 1.000 meter diatas permukaan laut. ketika Peter Just mengunjunginya tahun 1980 dia menemukan beberapa bahasa asli Wawo.
Dahulu Wawo masuk dalam wilayah Ncuhi Doro Wuni, di desa ini banyak berbagai kisah para Ncuhi yang disadurkan oleh para tetuanya, antara lain yaitu kisah Ncuhi Maria yang kuburannya terdapat di Dusun Kawae, oleh para keturunannya yang masih berada di kawae tetap dijaga kebersihannya.
Dalam catatan perjalanan Michael Hitchock mengunjungi Wawo tahun 1983, dia menulis satu legenda dari lisan dou Wawo yang dia temui ketika itu, bagaimana awal mula dou Wawo tinggal diatas dataran tinggi, “Dahulu kala terdapat banjir besar yang mendorong orang-orang untuk naik ke dataran tinggi, kemudian ada dua orang anak laki-laki yang di tangkap oleh burung elang, dan meletakkan satu orang anak laki-laki diatas batu sebuah lembah, lalu orang-orang membangun sebuah desa ditempat batu tersebut sebagai pertanda yang baik dari burung tersebut,” ungkapnya.
Pada era kesultanan, dou Wawo wajib membawa anak laki-laki atau perempuan mereka untuk mengabdi dan mengisi pada beberapa bagian pasukan atau bagian tertentu pada kesultanan. Satu hal yang juga berasal dari Wawo yaitu kerajinan keranjang. Dahulu para wanita wawo di istana adalah bagian membuat berbagai keranjang untuk keperluan istana sejak tahun 1912, seperti penutup nasi, kata Hitchock.
Dan itupun terbukti banyaknya produksi keranjang serta aktifitas perdagangan keranjang di Wawo yang dilihat oleh Hitchock ketika itu (1983) di Tarlawi yang di kunjungi, ciri dari keranjang Wawo yaitu berwarna garis hitam dan merah. Juga masih banyak terdapat Lengge bermodel A Frame untuk tempat tinggal dan penyimpanan Padi di loteng. Untuk urusan padi dan beras adalah keseluruhan tugas dan tanggung jawab para perempuan setelah panen, hanya perempuan yang bisa masuk ke lumbung sesuai ketetapan adat, tulis Hithchock.
Bukan hanya keranjang, Wawo juga dikenal dengan sentral penjualan kerbau di Bima. Cuaca daerah pegunungan Wawo yang sejuk dan dingin menjadi pilihan kolonial membangun Hotel Maria`s tahun 1936, yang sekarang dikenal dengan nama Pesangrahan Oi Wobo. Tahun 1958 Wawo dijadikan Kecamatan yang masuk dalam wilayah Daerah Tingkat II Kabupaten Bima.
Oleh : Fahrurizki
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar