Dou Donggo adalah masyarakat yang tinggal pada dataran tinggi di lereng Gunung Leme dan Soromandi yang masuk dalam sub etnik Suku Mbojo, Donggo sendiri dalam bahasa Bima lama berarti pegunungan. Ada dua wilayah Donggo yaitu Donggo Ele dan Donggo Di, penyebutan Donggo Ele untuk wilayah pegunungan sebelah timur (Ele) teluk Bima namun penyebutan untuk Donggo Ele ini sudah jarang disebut karena mereka lebih menggunakan nama desa mereka seperti Ese Wawo, Lambitu dan Sambori.
Sedangkan penyebutan Donggo Di untuk wilayah pegunungan sebelah barat (Di) teluk Bima, masyarakat pegunungan Donggo Di masih mempertahankan nama tersebut dengan menyebutnya Dou Donggo (Masyarakat Pegunungan) padahal begitu banyak nama desa yang terdapat dalam satu wilayah Donggo Di, misalkan Desa Kala, O`o, Mbawa dan lain-lain. Mereka lebih mempertahankan nama yang sudah melekat pada mereka sejak dulu hingga kini.
Sket wanita Donggo dan anaknya tahun 1908 (Sumber : Die Sunda Ekspedition). |
Dou Donggo mempunyai historial panjang dalam rentetan perjalanan zaman mulai dari awal hingga kini, kultur Donggo adalah sample dari Budaya Mbojo yang masih bisa dilihat dalam bentuk fisik. Praktik budaya dan sosial tetap mereka pertahankan seperti yang ada di desa Mbawa. Namun sejak Islam mulai masuk di Bima beberapa ritual lokal sudah di tinggalkan oleh Dou Donggo, dan yang tersisa dan masih menjalankan ritual lokal mereka hanya di Mbawa dengan tradisi Raju yaitu ritual menyambut musim tanam dan melepas musim kemarau.
Kepercayaan lokal Dou Donggo sebelum Islam masuk yaitu Waro dan Parafu, mempercayai arwah roh leluhur mereka yang di yakini bahwa energi spiritualnya masih menjaga mereka dan menghinggapi puncak gunung Leme dan hinggap pada batu-batu besar, sedangkan untuk arwah orang biasa akan tetap berada pada kuburan mereka. Selain Waro dan Parafu Dou Donggo juga memuja para Dewa lainnya seperti Dewa Langi, Dewa Oi dan Dewa Wango (Johanes Elbert, 1911).
Dari berbagai ragam tradisi Dou Donggo, ada satu tradisi yang sangat menarik untuk dikaji dan di bahas dalam tulisan yang sederhana ini yaitu mengenai asal usul mereka yang dikenal dengan istilah ‘Londo Dou’. Istilah Londo Dou adalah sebuah simbolik keturunan dari beberapa klan keluarga di Donggo yang mengungkapkan asal usul garis keturunan mereka, praktik tersebut dipergunakan sebagai suatu bentuk pengumpulan jumlah anggota yang masih satu garis keturunan dalam klan keluarga mereka di wilayah Donggo.
Londo Dou sudah melekat dalam tatanan kehidupan sosial Dou Donggo yang menjadi simbolik etnis mereka, di Desa Kala dan Desa O`o hanya tertinggal beberapa tetua yang masih hafal garis keturunan ini (Londo Dou) . Praktik ini sudah menjadi bahan kajian antropologi sejak awal abad 20 yang pertama penelitian dilakukan oleh seorang antropolog Jerman bernama Johanes Elbert. Dalam bukunya Die Sunda Ekspedition terbit tahun 1911, dia mencatat ada lima Londo Dou yaitu 1.Londo Dou Deke, 2.Londo Dou Duna, 3.Londo Dou Gande, 4.Londo Dou Oi dan 5. Londo Dou Winte.
Dari kelima Londo Dou mempunyai kelas sosial masing-masing serta fungsi dalam tatanan kelompok masyarakat, mereka biasanya mewariskan keahlian pada keluarganya serta penyebaran dari Londo Dou di wilayah Donggo banyak berpusat pada O`o dan pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh klan masing-masing sangat sarat dengan berbagai pamali, dan jabatan adat turun temurun juga harus dari Londo Dou tertentu.
- Londo Dou Deke, adalah keluarga orang Nggeko yang paling tua dan paling dihormati, dari keluarga Parafu. Nggeko adalah sebuah tempat asal usul Dou Donggo bermukim.
- Londo Dou Duna, keluarga yang berasal dari Waro, dahulu setiap kelompok Londo Dou hidup berpisah-pisah namun sekarang sudah membaur dan kawin mengawin dengan klan yang lain. Penyebaran Londo Dou Deke dan Londo Dou Duna banyak bermukim di Desa O`o, dan menyebar ke desa lainnya yaitu Manggekompo, Manggenae, Tololoa, Doridungga, Wadu Kopa dan lain-lain.
- Londo Dou Gande, keluarga besarnya berpusat di Desa Kananta.
- Londo Dou Oi, bermukim di wilayah Tuntu.
- Londo Dou Winte, banyak berdiam atau bermukim di Desa Sai.
Pada tiap klan Londo Dou mempunyai seorang yang memimpin disebut Parafu, untuk memilih seorang Parafu dari penuturan Haji Matru (16/12/2017) dimana orang akan disuruh duduk pada daun pisang yang mereka sebut ‘Soro Kalo’ jika daun pisang tersebut lama menempel pada sesorang ketika dia berdiri hingga berjalan maka dia akan pilih dan menjadi Parafu pemimpin klan keluarganya. Haji Matro adalah keturuna keluarga dari Klan Londo Dou Duna yang menetap di Desa O`o, sekarang tinggal beliau Londo Dou Duna yang dituakan, semua Londo Dou Duna seumurnya sudah Mbora (meninggal) kata Haji Matru.
Diantara tokoh masing-masing Londo Dou ada yang mempunyai nama besar dari klan seperti La Ntehi Ama Ntihi seorang Ncuhi Kala yang mengangkat senjata melawan Belanda tahun 1908, La Ntehi seorang dari Londo Dou Winte. Dahulu setiap Londo Dou Duna kuburannya berbentuk bulat, dan itu juga berlaku pada setiap klan Londo Dou lainnya.
Kawin mengawin dari Londo Dou yang berbeda dimana nantinya seorang anak akan mengikuti garis keturunan ayahnya, seperti jika yang laki orang Londo Dou Winte dan perempuan Londo Dou Deke maka anaknya akan menjadi Londo Dou Winte. Setiap klan Londo Dou mempunyai pantangan yang tidak boleh dilakukan misalkan Londo Dou Deke tidak boleh memakan daging, namun sekarang pantangan tersebut tak lagi dilakukan oleh generasi sekarang. Pada setiap klan keluarga Londo Dou mempunyai tugas dan keahlian masing-masing yaitu dahulu setiap Ncuhi (kepala suku) haruslah di pilih dari Londo Dou Duna, dan orang pemerintahan harus dari Dou Deke (Depdikbud, 1998).
Nama klan dari Londo Dou diambil dari peristiwa penting yang pernah dialami oleh orang terdahulu. Misalkan nama Londo Dou Duna, arti Duna sendiri dalam bahasa lokal yang berarti Belut dimana kisahnya berawal ada anak seseorang di gigit oleh Duna (Belut) ketika dia sedang bermain oleh sebab itu orang-orang menyebut keturunan dari si anak yang di gigit Duna dengan nama Londo Dou Duna, kisah haji Matru.
Haji Matru mengisahkan bahwa semua klan Londo Dou di Donggo berasal dari Londo La Hila semua, dimana La Hila merupakan sosok wanita cantik berambut panjang 7 meter yang menjadi legenda hidup. Pada suatu waktu La Hila diperebutkan oleh dua orang pemimpin lokal yaitu Sri Gani dan Sri Dungga untuk diperistri, akibat tidak inginnya ada perang akibat dirinya kemudian La Hila memilih untuk menghilang hingga selamanya. Untuk mengenang La Hila di Desa Kala diletakkan batu dengan nama ‘Bata La Hila’, tambah Haji Matru sambil menunjukkan kearah utara tempat tersebut.
Oleh : Fahroerizki
(Penyuka Sejarah, Blogger, Traveler)
Mantap.....
BalasHapusKalau semua londo dou dari londo la hila jadi la hila tidak hilang pasti dia kawin sehingga beranak pinak...!!!
BalasHapusMohon pencerahan
itu sketsa orang manggarai di desa mbawa donggo oleh antropolog belanda.
BalasHapus