Perbudakan adalah sesuatu yang sangat menguntungkan di awal abad 18 hingga 19, selain rempah-rempah dan kayu di kepulauan sunda kecil komoditi perdagangan yang paling menggiurkan adalah budak. Di pasar Batavia budak dari timur adalah primadona para pembesar disana, budak yang dicari untuk perkebunan atau pekerja rumah mereka didatangkan dari Bali, Makassar dan Bima paling banyak diminati, selain kuat juga harga mereka paling murah.
Pelelangan Budak di pasar Batavia pada awal abad 19 (Sumber : Tijdschrift voor Nederlandsch Indie) |
Perbudakan di Bima sendiri dimulai sejak abad 17, dimana penyerahan upeti berbentuk hamba sahaya oleh kerajaan yang telah di kuasai kerajaan Bima, upeti berupa budak biasanya diserahkan oleh Manggarai dan Sumba, upeti budak atau pajak manusia di sebut Teki Mendi. Hamba sahaya yang didapat dari rampasan perang dalam catatan naskah kuno Kesultanan Bima yang bertarikh 16 April 1693, Bima dan Tambora membagi jatah rampasan perang para perempuan. Kisah tersebut dicatat sebagai berikut :
Pada hari Jumat waktu zuhur sepuluh hari bulan Sya`ban Hijrat al-Nabi salla`llahu alaihi wa sallam seribu seratus empat tahun, tahun Ba bilangan Islam, tatkala itulah diputuskan bahagian Raja Tambora dan Raja Bima karena Raja Tambora dua bahagi, bahagian Raja Bima sebahagi karena dalam sebahagian dualapan puluh tiga orang. Dahulu putus sekarang putus tiada boleh lagi sebut menyebut perkataan dalamnya (BSK, Hlm 45).
Pada tahun 1693 ketika itu Kesultanan Bima dipimpin oleh Sultan Djamaluddin (1687-1694), sultan yang menggemparkan Benteng Rotterdam Makassar karena persidangannya yang dituduh membunuh Daeng Mami istri Sultan Dompu. Raja Tambora ditahun yang sama (1693) saat itu yang memegang tampuk kekuasaan adalah Nilauddin Abdul Basyir (1687-1697) seorang Raja yang masih sangat muda yang juga menggemparkn Batavia hingga Capetown (Afrika Selatan) dimana dia dibawa untuk di asingkan dengan seluruh badan di belenggung.
Budak tidak juga di dapat dari rampasan perang, budak juga bisa didapati dari hukuman orang yang tidak mau membayar pajak. Biasanya mereka yang dijadikan budak akan dipekerjakan di rumah-rumah pembesar istana, selain menjadi budak orang yang tidak membayar denda juga akan dibuang ke Pulau Sanghyang Api. Perbudakan juga menguntungkan Pendapatan kesultanan. Budak yang disetor oleh Bima di Batavia dihargai dengan f 500 selain kuda dan kayu (Depdikbud, 1997).
Tahun 1727 di era Sultan Hasanuddin (1695-1731) penyetoran budak dan peraturan budak mulai di fokuskan di tanah jajahan Manggarai dan Sumba. Penyetoran budak dan upeti dilakukan oleh para Dalu (ketua distrik) d wilayah kekuasaan masing-masing Dalu di Manggarai. Upeti dan Budak diserahkan pada seorang perwakilan Sultan Bima yang disebut Naib, pusat pemerintahan Naib terdapat di Tanah Reok, kadang juga para Dalu juga menghadiahi Sultan dengan budak. Dalam naskah peninggalan Kesultanan Bima dicatat perisitiwa penyetoran budak dan peraturan jika budak tersebut melarikan diri, isi naskah tersebut sebagai berikut :
Hatta maka hari Isnin sebelas hari bulan Syawal sudah pukul empat jam, tatkala itulah datang menghadap Karaeng Golo dengan segala dalu-dalu beserta hadiahnya budak empat orang, dua laki-laki, dua perempuan, dan lilin tujuh kati, kerbau empat ekor, beras sepuluh usungan dan ayam satu usungan (BSK, Naskah 45).
Manggarai sebagai tempat penghasil budak untuk Kerajaan Bima kemudian dijual ke Batavia, pasokan budak manggarai semakin banyak diminati sehingga juga penyetoran budak di Manggarai juga harus semakin banyak. Pada tahun 1764 (dalam naskah disebut 1763) para Dalu mengalami kendala untuk penyetoran budak, oleh sebab itu Dalu Cibal dan Dalu Dengas mengulur waktu yang sangat lama, sehingga Sultan Abdul Kadim (1751 – 1773) mengirim Tureli Bolo sebagai perwakilan Sultan yang didampingi oleh Bumi Pareka Mbojo dan Jena Cenggu. Sultan Bima jika mengirim seorang Tureli (menteri) berarti ada masalah besar yang dihadapi di tanah Manggarai, dalam naskah dikisahkan sebagai berikut :
Hijrat al-Nabi sanat 1177 Wau pada tiga puluh genap bulan Ramadan hari Isnin, tatkala itulah Tureli Bolo Ganti kerajaan, dan Bumi Pareka Mbojo, dan Jena Cenggu La Jala membawa masuk mengadap Dalu Cibal La Gandi Ama Rambi dan Dalu Dengas La Taka Ama Gapa serta dengan budak persembahan seratus dan emas merah pakaian Manggarai ganti nayawanya ke bawah Duli Yang Dipertuan Kita al-Sultan Abdul Kadim Raja Bima (BSK, naskah 66).
Tertulis dalam naskah Bo Sangaji Kai (BSK) Sultan Abdul Kadim mempunyai catatan yang banyak sekali menjual budak, ditahun 1767 Sultan mengirim perintah melalui Tureli kepada para Dalu untuk segera menyetor 100 budak sebagai pelunasan hutang kepada kompeni (lihat BSK Hal,246). Tahun 1769 Sultan Abdul Kadim kembali melawat Manggarai sepulangnya dari sana juga membawa hadiah budak. Penghasilan budak di manggarai dalam setahun mencapai 2000 budak termasuk 300-an orang atas nama upeti. Budak-budak tersebut kemudian diperdagangkan lewat Pelabuhan Bima, tulis Nuryahman dalam Bukunya Pelabuhan Ende : Dalam Perdagangan di Nusa Tenggara Abad ke-19.
Setelah Abdul Kadim mangkat kemudian di ganti oleh anak keduanya Abdul Hamid (1773-1817) sebagai Sultan Bima, upeti berupa budak tetap diserahkan pada Sultan. Praktek perbudakan di Bima terus dilakukan, tahun 1784 Sultan Abdul Hamid menetapkan Manggarai tetap menyetor Upeti dan budak (lihat BSK, hal 399). Di tahun 1792 ketika Abdul Hamid menuju Makassar, dia menyerahkan beberapa budak kepada pejabat Belanda sebagai hadiah. Disaat rezim Abdul Hamid berkuasa perbudakan semakin merajalela dengan mengeluarkan berbagai aturan budak walaupun Raja Bicara Abdul Nabi berselisih paham dalam hal itu. Tahun 1815 hingga 1852 peraturan mengenai jika ada seorang yang tidak mampu membayar hutang maka diganti diri salah satu dari anggota keluarganya harus menjadi budak (lihat BSK, hal 425).
Awal abad 19 komoditi penjualan budak semakin menggiurkan, perdagangan budak tanpa modal dengan keuntungan yang sangat besar, kerajaan Pekat biasa mencuri penduduk Tambora untuk dijual begitupun dengan orang-orang Ende biasa mencuri manusia di Sumba untuk dijadikan budak, lain halnya dengan Sultan Bima penyetoran budak yang didapati kebanyakan dari upeti. Dari catatan tahun 1814 Batavia memiliki budak sebanyak 18.972 orang, sebagian besar mereka berasal dari Nusa Tenggara yang didatangkan dari Bima, Bali dan Makassar (Nuryahman, 2014).
Praktek pelarangan perbudakan dikeluarkan oleh Hindia belanda tahun 1818 masehi namun ditahun 1820-an total dihentikan, yang sebelumnya di Bima juga dilarang dengan peraturan akte Kesultanan Bima dibuat oleh Abdul Nabi sekitar tahun 1805. Kesultanan Bima juga intens melakukan pelarangan penjualan budak di era Sultan Ismail (1817-1854) yang sebelumnya merajai penjualan budak di Batavia hingga terbentuk pemukiman Manggarai di Batavia (Jakarta) yang merupakan tempat penampungan budak yang dikirim dari Bima, ditahun 1827 Bumi Parisi Bolo mengirim surat kepada Sultan Muhammadsyah (kemungkinan Sultan Bacan) surat yang datang dari Ujung Pandang menghimbau pelarangan penjualan Budak.
Oleh : Fahrurizki
Penggiat Sejarah Bima, Explorer
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar