Tanah Bima antara akhir abad 17 Masehi, merupakan era perkembangan berbagai tarekat-tarekat datang mewarnai Dana Mbojo (Bima), mengisi ruang-ruang keagamaan istana maupun rakyat. Peninggalan-peninggalan tarekat tersebut dapat kita jumpai dalam berbagai ritus masyarakat Bima mulai dari Barzanji, Dzikir Ratib, Maulid hingga kitab-kitab tasawuf peninggalan istana. Tidak hanya itu, jejak-jejak tarekat hingga kini yang masih menjadi kajian sosial agama masyarakat adalah Fitua atau kadang juga disebut Ngaji Tua.
Pada dasarnya penyebaran agama di Bima memang intens dilakukan dengan jalan hakikat, melalui pendekatan kultural pada ruang keagamaan masyarakat, penyebaran Islam di Bima melalui hakikat dilakukan oleh Datu ri Tiro, terutama tasawuf atau fikih (pemikiran). Fikih menjadi dasar perkembangan istilah Fitua yang merefleksikan tarekat, hingga kini masih dipertahankan oleh sebagaian besar masyarakat Bima. Terminologi kata Fitua diambil dari dua kata yaitu Fiki (pikiran) dan Tua (tua), fiki sendiri adalah serapan bahasa arab yang dari kata Fikih yaitu pemikiran sedangkan Tua sendiri adalah serapan dari bahasa melayu yaitu tua, dalam filosofis Bima, tua atau matua bermakna kebajikan. Jadi Fitua dalam artianya adalah sebuah pemikiran kebajikan untuk kehidupan.
Lukisan Mengingat Ilahi (Zikir) karya Eugene Baugnies |
Perkembangan tarekat di tanah Bima di mulai sejak kedatangan para murid Syekh Jalaludin Al-Aidid dari Sulawesi (Makassar) sekitar 1670 paska perang Gowa atau disebut kedatangan kaum Melayu. Kedatangan kaum melayu gelombang kedua ini juga membawa perubahan kultur Bima menjadi lebih Islami, oleh para pengikut tarekat Khalwatiyah bersama ulama Dato Maharajalela dan Sultan Bima Abdul Khair Sirajuddin (1640-1682) menggagas sebuah ritus untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dikenal hingga menjadi hari raya ketiga masyarakat Bima yaitu Maulu Nabi Hanta Ka’pua (Sirih Puan).
Dalam ritus Maulu Hanta Ka`pua bukan hanya Khalwatiyah juga bisa didapati ritus tarekat lainnya yaitu zikir barzanji dari tarekat Naqsabandiyah dilakukan sebelum Hanta Ka`pua dimulai (Mulyadi:50:1993). Diperkirakan masuknya unsur zikir barzanji dalam ritus Hanta Ka`pua yaitu pada era Sultan Djamaluddin (1687-1694), dimana pada era tersebut sekitar tahun 1680-an berkembang tarekat Naqsabandiyah yang dibawa oleh para ulama Banten. Salah satu ulama Banten yang terkenal adalah Syekh Umar Al-Bantany, gurunya sultan dan juga menjabat sebagai mufti kesultanan Bima. Berkembangnya Naqsabandiyah juga berkembangnya tarekat Sattariyah yang dibawa oleh kaum melayu (Minang).
Pada tahun 1785 di tanah Bima juga berkembang tarekat Rifa`iyah, menariknya tarekat ini kebanyakan pengikutnya adalah kaum bangsawan di Bima saat itu, salah satunya anak Sultan Abdul Kadim (1751-1773) yang juga adik Sultan Abdul Hamid (1773-1817) yang bernama Abdul Manga Daeng Pabeta (lihat Historiografi Bima), dia diangkat menjadi khalifah tarekat tersebut. Dimandikan dan dibaiat oleh seorang khoja yang berasal dari India, Daeng Pabeta mendalami ilmu kebal (dabus) pada tarekat tersebut hingga memberikan kepercayaan diri untuk menggulingkan kekuasaan kakaknya Sultan Abdul Hamid. Namun pemberontakan Daeng Pabeta gagal dan melarikan diri ke timur, hingga dia dibunuh di daerah Manggarai.
Juga antara akhir abad 18 hingga awal abad 19, Bima juga menjadi tempat berakarnya tarekat Sammaniyah, dimana saat itu khalifahnya adalah seorang ulama dari Palembang bernama Shiddiq bin Umar Khan. Tarekat Sammaniyah menjadi tarekat terbesar di Bima saat itu, sekitar tahun 1770-an seorang guru besar tarekat Sammaniyah yang bernama Syekh Nafis Al-Banjari, sepulangnya dari Mekkah menyempatkan diri berkunjung ke murid-muridnya yang setia di Bima (Bruinessen:2012:381).
Kemudian pada pertengahan abad 19, juga ada tarekat lain yang masuk di Bima, yaitu Haddadiyah. Ajaran tarekat Haddadiyah bisa terlihat dalam ritus Hanta Ka`pua yaitu dzikir rati(b) yang sebelumnya juga dilakukan dzikir barzanji. Hingga kini dzikir rati wajib dilaksanakan ketika maulid Nabi, dzikir hanya dilakukan didalam lingkungan istana, sejauh ini belum ada ditemukan praktek dzikir ratib di luar istana.
Banyaknya sebaran tarekat di tanah Bima mulai abad 17 hingga 19, menjadi bukti banyaknya keaneka ragaman kebudayaan Islam yang berkembang di masyarakat melalui proses-proses penyebaran tarekat hingga berasimilasi dalam kearifan lokal Bima contohnya ‘Kande’ yang sudah ditautkan syair-syair sanjungan pada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Beberapa bait contoh Kande berikutnya merupakan manifestasi dari hakikat dan petuah kebajikan dalam kehidupan untuk seorang pemimpin agar selalu mengingat Allah dan Rasul-Nya, syair kande bisa di lihat dibawah ini :
Ruma suu!
Nemba mena lamada ada ta sa dana Mbodjo.
Dua mbua kai dodo ku
di ruma Allah ta'ala makese wara,
nabi Muhammad mancewi taroa bisa ra guna,
morotabat,
(Ruma suu!
Bersujud kami semua setanah Mbojo (Bima)
Untuk melihat keduanya pada
Allah ta`ala yang awal berada
Nabi Muhammad memberikan cahaya dalam batin
Marabat)
Masuknya tarekat melalui pendekatan kultural memberikan warna sufistik tersendiri pada ritus keagamaan masyarakat Bima hingga kini, tidak hanya pada dimensi spiritual masyarakat juga terimplementasi kedalam nama-nama mushaf Al-Quran kesultanan yaitu Nontogama yang berarti jembatan agama. Tidak hanya itu, juga struktur pemerintahan Bima berlandaskan Sara (agama) dengan nama jabatan yang sangat filosofis contohnya Sultan. Oleh masyarakat Bima seorang Sultan tidak dipanggil dengan gelar Sultan namun dipanggil dengan Hawo yang artinya teduh tempat rakyat bernaung.
Oleh : Fahrurizki
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar