Menenun salah satu aktifitas kerajinan yang sangat tua dalam sejarah peradaban manusia, seiring berkembangnya teknologi zaman, juga perkembangan menenun semakin maju dengan penemuan alat pintal benang dan alat tenun yang pertama kali ditemukan di Mesir dan Cina sebelum masehi. Juga ada beberapa pendapat mengatakan bahwa tenun sudah ada sejak zaman Neolitikum. Bukti menenun sebagai kerajinan tertua masyarakat Indonesia juga dapat dijumpai pada relief candi Borobudur.
Aktifitas menenun masyarakat Bima juga tergolong sangat tua, itu dibuktikan sudah adanya penjualan kain kasar di Bandar Bima seperti yang ditulis oleh pengelana Portugis bernama Tome Pires. Kain kasar ini terbuat dari benang kapuk atau penenun Bima menyebutnya Kafa Medi, penggunaan kapuk jauh sebelum masyarakat Bima mengenal kapas. Penggunaan kapuk pada pembuatan Kababu atau baju masyarakat Bima mulai diganti dengan kapas yang jauh hasilnya lebih halus dari kapuk dimulai abad 18 masehi, untuk benang kapas para penenun Bima menyebutnya Kafa Nae.
sarung atau tembe Bima (Fahrurizki) |
Kerajinan tenun di Bima juga berkembang seiring zaman, dibawah kepemimpinan Sultan Abdul Hamid (1773-1817), pakaian bangsawan mulai berubah dan modis salah satunya tercipta baju Pasangi Sultan sendiri terbuat dari benang emas dengan corak atau motif yang indah-indah, Pasangi adalah baju kebesaran Sultan yang terbuat dari benang-benang pilihan, benang emas yang didatangkan dari Malaka, mulai dari sinilah motif-motif melayu yang identik dengan Islam menyentuh kerajinan tenun masyarakat Bima.
Tembe atau sarung mulai diramaikan oleh motif atau ragam hias melayu, salah satu motif Bima yang paling identik dengan Islam adalah Bunga Satako yang terinspirasi dari iluminasi surat dan kitab-kitab islam. Bunga satako yang berarti setangkai bunga menjadi motif pada tembe kalangan istana pada awalnya, tidak hanya untuk motif sarung, bunga satako juga menjadi hiasan pada pahatan dinding atau tiang rumah-rumah panggung Bima. Motif bunga satako adalah motif yang datang dari Trengganu. Awal terinspirasinya motif ini juga melalui mushaf al-Quran tua di Bima yang dinamakan La Lino, mempunyai iluminasi yang indah.
Nama La Lino mempunyai makna yang berarti membasahi, secara filosofisnya dimana mushaf ini akan membasahi masyarakat Bima dengan ayat-ayat Allah. Quran La Lino berasal dari Trengganu mulai digunakan oleh kesultanan Bima sejak sultan Abdul Kadim Muhammadsyah (1751-1773). namun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa La Lino ditulis oleh Mufti Istana Syekh Subuh, tapi pendapat itu tidak ada bukti yang kuat dan refrensi yang memadai. Sekarang La Lino tersimpan di Museum Quran Masjid Istiqlal Jakarta.
Syiar Islam dalam Motif
Berkembangnya Islam di tanah Bima memberikan pengaruh dalam cara berpikir dan bertingkah laku, dalam segi Budaya dan seni, majunya budaya dan seni memberikan perkembangan busana masyarakat Bima, hingga sulaman motif pada kain yang awalnya kain warna saja yang monoton hitam dan putih berkembang benang warna warni seiring tekhnologi pewarnaan benang dikembangkan. Sarung hitam biasa dikenakan oleh orang Bima yang menghuni daerah pegunungan, sarung hitam ini disebut Tembe Sengge. Sedangkan sarung putih biasa dikenakan oleh orang Bima yang berada di daratan atau pesisir, mereka menyebutnya Weri Lanta.
Motif-motif melayu mulai mempengaruhi aktifitas menenun masyarakat Bima, motif melayu yang identik denga Islam mulai merambah dan berakulturasi dengan budaya lokal, mulai dari motif Bunga Satako, kakando, Sambodo, Salungka dan Nggusu Waru. Tiap motif tersebut mempunyai unsur yang sangat kuat dengan Islam, seperti halnya motif kakando (pucuk rebung) yang dibawa oleh kaum pagaruyung yang banyak memberikan kontribusi dalam kebudayaan Bima. Namun di Bima mereka disebut Dou Malaju (melayu). Orang melayu mulai datang ke Bima paska perjanjian Bungaya pada tahun 1669-1670, mereka melebur dalam kehidupan kebudayaan Dana Mbojo dan menyiarkan Agama Islam.
Ragam hias atau motif Islam mulai ditumpal pada kain dan sarung Bima saat era Sultan abdul hamid (1773-1817), berbagai variasi dan ragam hias sarung dibuat. Terutama motif bunga yang sangat identik dengan Islam, motif Bunga satako dan sambodo salah satu motif yang tetap ditumpal oleh penenun Bima, bukan hanya pada kain atau sarung, ragam hias ini juga dilekatkan pada ornamen atau pahatan di rumah pangggung tradisional Bima.
Sarung bermotif hias awalnya dipakai pada lingkungan istana, warna sarung dan motif hias juga melambangkan jabatan seseorang. Namun pada umumnya sarung Bima mempunyai ciri khas warna yaitu warna merah, di kalangan Rato sarung merah dikenal dengan nama Tembe Bako yang biasa mereka pakai saat ada prosesi adat di istana, biasanya dipadukan dengan Siki Lanta dan Sambolo Songke. Tidak ada motif pada Tembe Bako, hanya kain merah bergaris tapi dengan benang songket, untuk masyarakat biasa mengenakan Tembe Bhali yaitu sarung kotak khas melayu.
Paruh abad 18 masehi, industri tekstil semakin maju di wilayah timur hindia yang dibawa oleh para pedagang tionghoa pasar Makassar, Kupang dan Bima. Di banjiri oleh berbagai benang-benang emas untk tenunan songket. Namun jauh sebelum kedatangan benang emas di hindia timur, benang berkilau sudah menjadi tren yang melekat pada pakaian adat melayu terutama di sumatera. Tenunan yang menggunakan benang emas oleh masyarakat melayu menyebutnya songket dan di Bima sebutannya Songke.
Menurut Shahriman Zainal Abidin, dalam bukel Proceedings of the 2nd International Colloquium of Art and Design Education Research (i-CADER 2015), bahwa songket merupakan simbol konsep toleransi dalam Islam yang sangat diajurkan, itu tercermin dalam ayat Al-qur`an ayat 13 surat al-Hujurat. Songket Pucuk Rebung dalamTenunan songket kemudian dikenal dengan istilah ikat, istilah ini diperkenan oleh G.P roufer pada masyarakat Eropa. Pada tradisi penggunaan benang emas para penenun Bima biasanya untuk ragam hias atau motif Nggusu Waru, motif yang sangat identik dengan Islam terutama Tasawuf.
Sentuhan Tarekat dalam Motif Nggusu Waru
Motif Nggusu Waru adalah tradisi sarung para Ruma (bangsawan pejabat), dengan variasi benang warna emas dan kadang perak. Sarung motif ini biasanya menggunakan warna Ungu yang merupakan simbol dari jabatan tinggi di dalam istana, seperti Tureli dan Jeneli. Motif Nggusu Waru dibawah oleh kaum melayu, motif ibi adalah representasi dari penyiaran Islam. Dalam melayu disebut segi delapan (oktagonal) yang terinspirasi dari kaligraphy Allah.
Segi delapan dalam dunia tarekat mempunyai konsep spiritual tersendiri. Segi delapan atau Nggusu Waru adalah representasi dari delapan persyaratan untuk mempelajari tarekat, dalam bukunya Siti Rohmah, Buku Ajar akhlak Tasawuf, menulis delapan syarat tersebut meliputi Qashd Shahih, Shidq Sharis, Adab Murdhiyah, Ahwal Zakiyyah, Hifz al-hurmah, Husn al-khidmah, Raf al-himmah dan Nufudz al-azimah.
Bukan hanya konsep spiritual, Nggusu Waru dalam simbol spiritual Islam disebut Rub al-hibz, sebuah simbol segi delapan yang menjadi simbol dalam dunia ornamen Islam. Pada arsitektur islam tiap tiap masjid maupun bangunan lainnya berbentuk segi delapan, seperti halnya bangunan Dome of Rock di Jerusalem. Di Bima dapat kita jumpai bangunan dengan segi delapan pada Lare-lare gerbang istana kesultanan dan empat menara Masjid raya sultan Bima.
Oleh : Fahrurizki
Pengamat Budaya & Sejarah Bima
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar