Pagi itu, Selasa 7 Pebruari 1989 adalah momen yang tidak pernah terlupakan sepanjang hidup saya. Usia saya masih 12 tahun duduk di kelas V SDN dan kebetulan sekolahnya di depan rumah bersebelahan dengan lapangan sepakbola Samili. Pagi itu, ayah pamit ke ibu, saya sendiri dan nenek yang datang dari Karumbu (sekarang Langgudu), ayah berangkat ke Mataram ibukota propinsi NTB via Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Palibelo-Bima sekitar jam 10.00 Wita dengan penerbangan pertama Merpati Airlines. Suara dan deru pesawat Merpati melintas diatas langit menandakan bahwa ayah sudah take-off dan dalam 1 jam kedepan akan sampai di Bandara Selaparang Mataram.
Sebagaimana biasanya, kemana-mana ayah pergi saya selalu minta ikut apakah ke kantor, ke sekolah-sekolah yang di supervisi maupun kegiatan-kegiatan di masyarakat khususnya pentas kesenian tradisional Bima. maklum, ayah saya (Ahmad Husain) berprofesi sebagai Penilik (sekarang pengawas) Kebudayaan di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bima.
Esok harinya, tanggal 8 Pebruari 1989, sekitar jam 1 atau 2 malam datanglah aparat keamanan dengan iring-iringan 5-6 kendaraan militer dari Kodim 1608 Bima dengan diantar kepala desa Samili pada waktu itu Idris H. Djafar. Puluhan aparat militer itu mendatangi kediaman saya dan ditemua oleh ibu yang malam itu masih terjaga bangun untuk sholat tahajjud bersama nenek saya. Mereka menanyakan ayah, sekarang dimana, kemana, dan pertanyaan lain sebagainya. Ibu saya menjelaskan bahwa ayah sudah berangkat ke Mataram menemui kakaknya M. Nur Husain yang sedang diintrogasi di tahanan militer Korem 162/ Wirabhakti. Inilah prilaku aparat militer pada waktu itu, pura-pura tanya dimana dan kemana, padahal sewaktu ayah saya turun dari tangga pesawat di bandara Selaparang Mataram sudah dijemput oleh puluhan aparat militer dan langsung dibawa ke markas Korem.
Cara-cara agitasi mental, terror fisik seperti ini selalu dimainkan pihak keamanan pada waktu itu dan sudah tentu menjadi konsep baku orde baru untuk membungkam suara-suara rakyatnya.
Ibuku bilang, ayahmu hanya pergi sebentar untuk menjenguk kakaknya Muhammad Nur Husain sekarang sudah (alm) yang sedang dimintai keterangan di Korem Wirabakti dalam kasus Bima tahun 1989, pada waktu itu juga “diamankan” pula KH. Abdul Ghany Masykur, A. Maman HS, dan puluhan aktivis Islam yang dalam versi keamanan dinamai gerakan Darul Islam/NII yang berpusat di Lampung. Sesampainya di Bandara Selaparang ayah dijemput oleh puluhan anggota intelijen TNI dari Korem 162/Wirabhakti Mataram untuk dibawa ke markas militer tersebut. Maklum masa-masa tersebut orde baru dengan Dwifungsi ABRI-nya menjadi “momok” yang sangat menakutkan oleh semua pihak. Banyak aktivis Islam ditangkap hanya berdasarkan filling dan curiga, persaingan politik serta operasi intelijen yang nyata-nyata dapat mengadu-domba antar umat Islam. Cara-cara intelijen seperti ini menjadi sebuah langkah dan strategi jitu orde baru dan ABRI (sekarang TNI) pada waktu itu untuk membungkam gerakan aktivis Islam. Dengan labelisasi ekstrim kanan, PKI gaya baru, subversif melawan pemerintah, ingin mengganti Pancasila dan UUD 1945, para aktivis Islam pada waktu itu ditangkap, disiksa, diadili dan dihukum dengan “peradilan semu bin sesat” berdasarkan pesanan kekuasaan.
Ayah diamankan oleh aparat militer bersama para aktivis Islam lainnya di markas Korem 162/Wirabhakti Mataram dan Kodim 1608 Bima dengan tuduhan yang sangat menakutkan yaitu kelompok subversif, ingin mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan menjalankan syariat Islam di bumi Indonesia. Selain tuduhan subversif juga dilabeli dengan kelompok “ekstrim kanan”, PKI gaya baru serta agitasi-agitasi intelijen yang menakutkan. Tuduhan-tuduhan seperti ini menjadi alat vonis diluar pengadilan yang dipakai pihak keamanan pada waktu itu untuk menakuti masyarakat agar tidak berbuat seperti para aktivis Islam tersebut.
Selain propaganda intelijen, pihak keamanan pada waktu itu dalam hal ini Kodim dan Korem selalu melakukan kegiatan perang-perangan baik dilakukan di gunung-gunung maupun di tengah kampung, lapangan sepakbola, seakan mengisyaratkan bahwa inilah kami, siapapun yang ingin melawan kami (negara) maka akan berhadapan dengan kekuatan militer. Saya pada waktu itu menyaksikan latihan perang di lapangan depan rumah, para tentara bersenjata lengkap, menembakkan mortir, peluru tajam di pohon-pohon, maupun sasaran lainnya. Warga di desa saya (samili) bukan malah takut, akan tetapi berkerumunan menonton latihan perang-perangan tersebut walaupun para tentara dengan senjata lengkap dan memakai peluru tajam.
Tahun 1990 ayah diadili di Pengadilan Negeri Raba Bima dengan tuduhan yang sangat “menakutkan” nan ampuh yaitu melanggar UU Subversif PNPS No.11 tahun 1963. Undang-Undang yang dipakai Presiden Sukarno rezim orde lama untuk membungkam aktivis Islam pada waktu itu. Para aktivis Islam dituduh melawan pemerintah yang sah, ingin menggantikan Pancasila dan UUD 1945 dengan Al-Qur`an dan Hadist. Sidang demi sidang dilalui, maka diputuskanlah bahwa ayah bersalah dan dihukum 6,5 tahun penjara bersama puluhan aktivis lainnya dengan vonis hakim yang berbeda-beda tergantung peran dan tingkat kesalahan yang menurut versi pemerintah sangat berbahaya pada waktu itu, termasuk Haji Abdul Gani Masykur, Muhammad Noer Husain, Achmad Maman Haji Suaeb, M. Ali Wahab, Muhdar Yahya, Muhammad Nur Djafar, Ahsin Jumana , Abdullah Yakub, Mansyur, Yusuf Abdullah, Abubakar Mansyur, Ahmad Jafar, Rusli M.Noer, H. Sulaiman M. Ali, H.Usman Adam, Muhtar Hadiyono, Agus Fachry H.Abdul Gani Masykur, Anwar bin H.Muhammad, Abdul Hakim, Zaenal Arifin alias To’o, Muhammad Mahmud, Abubakar Ismail dan Ichwanuddin Muh Rusydi Ibrahim
Tahun 1994 ayah bebas bersyarat di lembaga pemasyarakatan Kalisosok Surabaya bersama aktivis Islam lainnya. Waktu itu saya sudah beranjak remaja dan duduk di kelas II SMA. Lima tahun bukanlah waktu yang singkat bagi saya, ibu saya dan kakak-kakak saya menanti kepulangan ayah kembali kepangkuan kami. Dalam lima tahun itu pula, cemoohan, hinaan, hujatan dan segala macam perlakuan diskriminasi kami keluarga dapati dari masyarakat, aparat keamanan, pemerintah orde baru dengan antek-anteknya. Kami lalui dengan dengan tegar, sabar dan penuh keyakinan bahwa dimata kami dan keluarga ayah tidak bersalah, dan suatu saat zaman akan berubah. Tahun 1998 Presiden BJ. Habibie mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Rehabilitasi nama baik 26 orang aktivis Islam termasuk ayah dalam daftar tersebut, mendapatkan kembali hak-haknya, dipulihkan nama baiknya serta mendapatkan kompensasi dari sebuah “kesalahan masa lalu orde baru”.
Sebuah kekonyolan sejarah disertai akrobatik kekuasaan dipertontonkan untuk menghukum para aktivis Islam dengan sejuta tanda tanya, benarkah mereka ingin melawan pemerintah yang sah?, dengan kekuatan apa mereka melawan?, bagaimana caranya mereka melawan?. Hal inilah menjadi sebuah sejarah kelam yang dipertontonkan orde baru dengan kekuatan represif militernya dalam melakukan operasi-operasi intelijen yang intinya menjadikan gerakan Islam sebagai “musuh bersama” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun ayah saya dihukum dengan proses peradilan sesat yang sarat dengan hegemoni kekuasaan pada waktu itu dengan “stempel” subversif melawan pemerintah yang sah dan ingin mengantikan Pancasila dan UUD 1945, saya tetap bangga punya ayah seperti beliau yang selalu yakin akan perjuangannya membela panji-panji Islam, membela yang benar, menyampaikan yang hak dan mencegah kemungkaran. Bukan dihukum karena maling uang negara, menyengsarakan rakyat dengan perbuatan korupsi, dan penyelewengan hak-hak rakyat lainnya. Sekali lagi saya sangat bangga punya bapak seperti beliau, yang teguh memegang prinsip-prinsip kehidupan, berani berkata benar, berani melakukan koreksi-koreksi terhadap kesalahan rezim orde baru dengan bertujuan untuk kebaikan dan kemaslahatan ummat.
Dicari-cari Kesalahannya.
Sebagai salahsatu tokoh politik pada waktu itu, ayah menjabat ketua sekber (sekretaris bersama) dan komisaris Golkar tingkat kecamatan. Masih saya ingat, di momentum Pemilu (pemilihan umum) tahun 1987 Golongan Karya (Golkar) menjadi salahsatu kontestan yang selalu memenangkan pemilu dari masa ke masa. Orde baru dengan mesin politiknya golkar menjadikan para aparatur negara, militer, polisi dan pegawai negeri sipil wajib bergabung dalam golongan karya. Orang-orang yang menentang dan tidak bergabung dalam golongan karya dianggap sebagai musuh bersama, dikucilkan, golongan penentang pemerintah, dan se-onggok stempel negatif lainnya di masyarakat. Cara golkar yang cenderung “halus tapi kotor” pada waktu itu dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan kemenangan pemilu dikoreksi oleh ayah sebagai salahsatu kadernya di tingkat kecamatan. Menurut ayah, cara-cara permainan kotor seperti ini haruslah diakhiri dan diperbaiki dengan sikap jujur para kader, tidak boleh lagi menghalalkan segala cara untuk mencapai kemenangan. Koreksi seperti ini di dengar oleh Bupati Bima pada waktu itu saudara Letkol TNI. H. Oemar Haroen sebagai ketua dan penanggungjawab kemenangan golkar tingkat kabupaten Bima. maka dimulailah “operasi dan permainan mencari kesalahan” di tubuh golkar dengan membersihkan kader-kader yang vokal dan salahsatunya ayah saya.
Maka tibalah saatnya dilaksananakn pemilu tahun 1987, ayah ditunjuk untuk menjadi ketua KPPS tingkat desa walaupun beliau pada saat itu menjadi ketua sekber golkar tingkat kecamatan woha. Cara golkar “menjerat” kader-kadernya yang vokal dengan memasang posisi-posisi penting di tempat pemungutan suara guna mengetes “tingkat kejujuran dan kebohongan” dalam pemungutan suara (hitung suara) adalah salahsatu bentuk evaluasi kader layak dan tidak layak menjadi anggota DPR pada waktu itu. Semakin tinggi tingkat kemenangan golkar dalam suatu tempat, maka semakin mulus jalan seorang kader dalam promosi menjadi anggota DPR tingkat kabupaten. Semakin tinggi “tingkat kebohongan” dalam hal penghitungan suara maka kemenangan golkar semakin mulus dan tidak tertandingi.
Akan tetapi fakta berkata lain, di momentum pemilihan umum 1987 tersebut, Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Samili yang diketuai oleh ayah golkar “kalah telak” dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dengan penghitungan suara secara jujur tersebut, orang dan khalayak menilai bahwa golkar menang hanya dengan cara-cara yang tidak jujur alias menghalalkan segala cara untuk mmenangkan pemilu. Maka terbongkarlah “kebohongan-kebohongan” golkar pada waktu itu, bahwa di Bima golkar tidak menang 100% tetapi ada salahsatu TPS di Samili-Woha golkar mengalami kekalahan. Ayah saya sebagai ketua KPPS dibawa dan diintrogasi bersama anggota KPPS lainnya ke kantor kecamatan dan dilakukan sidang oleh kader tingkat kabupaten, mereka mempertanyakan kenapa ini bisa terjadi? Maksudnya kenapa golkar bisa kalah, kenapa bisa kecolongan dan sebagainya. Ayah menjawab itulah suara rakyat hari ini, itulah realitas hari ini, kita mau bilang apa rakyat menghendaki memilih yang lain dan saya sudah melaksanakan tugas penghitungan suara secara jujur dan sebaik-baiknya. Maka satu-satunya TPS di kabupaten Bima dan golkar mengalami kekalahan adalah di TPS yang diketuai oleh ayah yang notabene adalah kader golkar dan juga menjabat komisaris golkar tingkat kecamatan. Orang-orang menganggap aneh dan langka, TPS diketuai oleh kader golkar kok bisa kalah telak oleh PPP. Maka ayah “dievaluasi”, dicari-cari kesalahannya dicopot dari komisaris golkar tingkat kecamatan. Dan dimulailah “intip mengintip”aktivitas keseharian katanya “ekstrim kanan” seperti aktivitas pengajian rutin keagamaan dan lain sebagainya. Maka peristiwa Bima 1989 itu adalah bermula dari sini, ada dendam dan rekayasa politik tingkat tinggi yang dimainkan pada waktu itu untuk menjerat kader-kader vokalis yang berseberangan dengan poros kekuatan golkar.
Dan masih banyak cara rezim orde baru pada waktu itu mencari-cari kesalahan rakyatnya dengan berbagai operasi intelijen yang lebih sadis dan menyakitkan. Akan tetapi kami dan keluarga sebagai korban-korban dari sebuah rezim otoriter dan totaliter ala orde baru tidak menaruh dendam sedikitpun, walaupun kami diperlakukan sewenang-wenang bertahun-tahun, dicap sebagai keluarga ekstrim kanan, PKI gaya baru, subversif, merongrong ideologi Negara dan stigma-stigma negatif lainnya yang dapat membuat penderitaan batin selama ayah saya mengalami isolasi dan tahanan di lembaga pemasyarakatan baik di rumah tahanan Raba-Bima maupun di Lembaga Pemasyarakatan kelas I Kalisosok Surabaya selama lima tahun. Kami dan keluarga sadar bahwa ini adalah sebuah ujian kehidupan dan menjadi pelajaran di kemudian hari. Bahwa tidak selamanya politik itu sebuah cara menacapai tujuan-tujuan kebaikan dan kemaslahatan ummat, akan tetapi permainan politik juga adalah alat untuk menjatuhkan sebagian yang lain, maka politik itu identik dengan trik-trik kotor dan busuk.
Dan Sekarang, ayah diusianya yang hampir 80 tahun, tetap tegar, sabar dan tabah menjalani sebuah jalan kehidupan serta selalu menuntun anak-anaknya termasuk saya agar tetap berbuat baik, sabar dan tabah menjalani kebenaran, berbuat maslahah bagi kepentingan ummat, dan menjaga agar panji-panji kebenaran Islam tetap tegak walaupun bumi akan runtuh. Selamat berjuang ayah, do`a kami dan keluarga agar engkau selalu sehat wal-afiat, tetap semangat, sampai suatu saat dipertemukan dengan-Nya. Kami bangga atas torehan perjuanganmu, semoga itu semua menjadi syafaat bagi kami dan keluarga di pengadilan ilahi rabbi pada yaumul ba`ats nanti, amien ya rabbal alamin.
(Ditulis pada malam hari 7 Pebruari 2016 untuk mengenang Peristiwa Bima 1989, 27 tahun silam)
Oleh : Muhammad Fauzi Ahmad
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar