TGH Abdul Majid Bakry, (ilustrasi : mbojoklopedia) |
Di bidang politik, KH. Abdul Majid Bakry menjalankan high politics yang berlandaskan etika. Begitu pula di bidang pelayanan masyarakat dalam kapasitas sebagai pamong desa, aktivis Masyumi ini melayani masyarakat secara adil, dan penuh kasih sayang. Kalau terjadi konflik antar kampung, ulama yang akrab disapa Guru Maji ini bergegas memediasi dan merangkul kedua belah pihak yang berseteru lewat soft approach. Nalar umara yang didukung dengan naluri ulama yang kuat membuat Guru Maji punya jiwa yang kokoh, berkarakter intelektual, dengan watak kepemimpinan yang melayani, bukan dilayani. Demikian berarti, sosok yang juga kerap disapa Abu Tua Mejo ini sepatutnya tempat berkaca para pemimpin agar benar-benar melayani di tapak bumi, bukan bertahta di menara gading.
Sebagai aktivis Masyumi Donggo, Guru Maji akrab dengan bacaan yang bercorak Islam modernis seperti Al-Muslimun, Ar-Risalah, Kata Berjawab, Panjimas dan kitab tafsir karangan ulama modernis lainnya. Maka tak heran, wawasan keislaman, keindonesiaan dan kemoderenan sangat dikuasai oleh sosok yang hangat bersahaja ini. Berbagai media massa, peneliti domestik maupun luar negeri, organisasi lokal maupun berskala global kerap mendatangi kyai sepuh Donggo ini untuk mereguk hikmah, bercerita tentang romantisme perjuangannya dalam Peristiwa Donggo 1972, diskusi kebudayaan, konsultasi keislaman, toleransi antar umat beragama dan sebagainya.
Guru Maji lahir di tahun 1920 dari seorang ayah yang bernama Pangka yang merupakan anggota Mboda, yaitu satuan keamanan di rumah Raja Bicara (Ketua Dewan Hadat Kesultanan Bima), Abdul Hamid, sedangkan kakeknya adalah Kepala Kesatuan Anangguru Mboda. Sebelum mengenyam pendidikan formal tingkat lanjut, beliau sempat belajar langsung dan tinggal bersama salah satu tokoh Ulama Bima, KH. Ibrahim di Rato Sila, Bima (1936-1938). Dari tahun 1941-1945, beliau melanjutkan sekolah ke Daarul Ulum di Bima. Dengan modal tersebut beliau membuka sekolah Darul Ulum Doridungga (1953-1956) dan beberapa sekolah lain. Tahun 1958-1966, beliau mengabdi sebagai Wakades lalu menjadi Kades O’o. Pindah ke Karamabura Dompu 1968. Kembali ke Donggo membina kaum mualaf Kambentu Mbawa 1969-1972. Membaca perjuangan Guru Maji semasa hidupnya sangat kental dengan nilai-nilai keteladanan. Komitmen perjuangannya membela rakyat tertindas akibat kedzaliman penguasa kala itu membuat dia diteror, hingga ditahan sebagai Tapol.
Tahun 1972 selama 4 bulan menjadi penghuni Lapas Pekambingan Denpasar Bali. 1972-1973 sebagai tahanan Polisi Militer di Mataram. Tiga bulan kemudian kembali ke Lapas Bima. Pada 1974 sebagai tahanan rumah.Selepas dari bui diangkat menjadi anggota DPRD Dati II Bima periode 1977-1982. Lakon politik itu semata-mata ingin mentransformasikan nilai-nilai Islam dalam ruang parlemen. Hijrah ke Kananta 1975-1982. Sejak 1983 berdomisili di Permukiman Rora, hingga menghembuskan nafasnya yang terakhir pada Selasa sore, 14 Februari 2017di kediamannya, Dusun Keto Ntembi, Desa Karamabura, Kecamatan Dompu, Kabupaten Dompu dalam usia 109 tahun.
Dalam studi Rangga (2011) bertajuk “Gerakan Masyarakat Donggo Tahun 1972: Kisah Dari Elit-elit Terkalahkan”, pada tahun 1970-an ketika Orde Baru mulai menanamkan kekuasaannya, yang memunculkan berbagai pergolakan yang memaksa masyarakat Donggo untuk berdiri berhadapan dengan pihak penguasa. Dengan sistem sentralisasinya, di mana otoritas penguasa masuk ke desa-desa terpencil sekalipun dengan militer sebagai penyokongnya. Konsep pembangunan yang dibawa oleh pemerintahan Orde Baru yang selalu dikaitkan dengan modernisasi sehingga hal-hal yang berbau tradisional harus dihapuskan karena dianggap menghambat pembangunan, terlebih lagi bila hal-hal tersebut dianggap merintangi penanaman kekuasaan, guna mencapai pemerintahan yang sentralistik.
Akumulasi dari kekecewaan masyarakat Donggo akibat dari tekanan dan ketidakadilan dari pihak penguasa beserta kaki tangannya menciptakan huru-hara di masyarakat. Akhirnya di bawah pimpinan tokoh masyarakatnya, yaitu Abbas Oya B.A. (H. Iba) sebagai tokoh intelektual, H. M. Ali Abu Wia (H. Kako) sebagai tokoh spiritual, Abdul Majid Bakry sebagai tokoh agama, M. Ali Ta’amin (H. Ale) dan Jamaludin H. Yasin (Ledo) sebagai tokoh muda perwakilan pemerintahan desa, tercapai kesepakatan untuk menggalang aksi sehingga memunculkan gerakan sosial masyarakat Donggo tahun 1972. (Rangga, 2011).
Kesalahan arah kebijakan Soeharmadji itulah yang memicu perlawanan masyarakat Donggo kala itu. Uniknya, gerakan perlawanan tersebut berbasis massa aksi kaum tani. Memang petani tergolong kelompok masyarakat yang pasif dan lugu dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Disinilah menariknya bagaimana respons petani terhadap suatu kebijakan yang dinilai sewenang-wenang. Walapun memang harus diakui, suntikan ide-ide perlawanan dan pengorganisasian massa ke dalam gerakan yang sistematis itu diatur oleh kelompok intelektual dan elite politik progresif.
Sekalipun termasuk sebagai pejabat publik, namun hingga kembali sebagai warga biasa, Guru Maji tidak memiliki rumah maupun harta yang dapat diwariskan. Dia hanya tinggal di rumah sumbangan novib (rumah sumbangan dari Belanda untuk petani di Permukiman Rora) di tengah-tengah masyarakatnya. Kesibukan sehari-hari adalah berdakwah dari kampung ke kampung di Kabupaten Bima dan Dompu, hingga berpulang ke rahmatullah.
Sisi lain dari Guru Maji adalah komitmennya pada kemajemukan. Maka pantaslah seorang Pastor Gereja Kemah Injil Katholik Mbawa Donggo-BimaJafar Johanes menjuluki Abdul Majid sebagai Bapak Antarumat Beragama. Menurut Jafar Johanes, H. Abdul Majid Bakry adalah piribadi pemimpin umat yang visioner yang mampu memberikan semangat kepada masyarakatnya, memperjelas arah perjalanan hidup masyarakatnya secara nyata, mengambil keputusan secara tegas dan konsisten, menggalang kembali kecintaan akan kebersamaan, terutama sekali di hadapan kalangan keluarga dari semua golongan.
Dalam testimoninya di buku tulisan Ghazaly Ama La Nora (2007) berjudul “Mutiara Donggo”, Johanes mengatakan bahwa kita membutuhkan figur seperti dia (Guru Maji) yang bisa membangkitkan ruh hidup bersama dalam nuansa keberagaman dan kebhinekaan. Ruh itu adalah semangat kebangsaan dalam konteks baru, dalam konteks tatanan yang kini tumbuh secara dinamis.
Beliau, menurut Johanes, adalah Bapak kehidupan antarumat beragama dan pemimpin yang dapat menemukan perangkat lunak, software sosial baru yang kuat untuk menopang dinamika perubahan sosial yang kini tengah berlangsung. Beliau memiliki integritas personal yang didasarkan oleh prinsip-prinsip luhur yang ia gali dan pahami, kemudian dirumuskan dalam tradisi atau ajaran agama. Paling tidak, ia tidak silau dengan hal-hal atau situasi lain yang mungkin bertentangan dengan prinsip yang dianutnya. Selamat Jalan Tuan Guru !
Oleh Mawardin Sidik
Anggota LASDO dan editor mbojoklopedia.com
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar