Tahun 1680 kegaduhan terjadi di Batavia akibat stok kayu sepang dari Sumbawa yang tidak memenuhi permintaan Gubernur Gendral Batavia yang saat itu menjabat adalah Rijklof van Goens. Pemesanan kayu sopeng yang tidak dapat dipenuhi oleh seorang bernama Khojah Darwis yang sejak awal membuat kontrak dagang denga perusahaan Belanda di Batavia.
Khojah Darwis seorang pedagang besar yang khusus menjual kayu sopeng dan hasil bumi lainnya, kayu Sopeng atau dalam sebutan Bima dan Sumbawa kayu Sapan oleh orang Makassar menyebutnya Sapang dengan nama latinnya Caesalpinia sappan L. Orang Belanda menyebutnya Sapanhout, kualitas kayu Sapan dari pulau Sumbawa memang diakui kualitasnya, mulai dari abad 17 hingga 18 masehi pulau Sumbawa menjadi incaran para pedagang kayu ini.
Pemandangan Pelabuhan Batavia, sket oleh Julius Milheuser, dari tahun 1619 - 1680 |
Kayu Sapan mempunyai khasiat dan kegunaan pada pohonnya, mulai dari kulit pohon hingga kayunya. Biasanya kayu sapan oleh bangsa eropa digunakan sebagai rempah dan pewarna makanan serta menjadi obat. Kayu Sapan disuplai dari Sumbawa hingga Bima.
Khojah Darwis biasa mensuplai kayu Sapan untuk Batavia ribuan pikul dalam laporan kapten Jan Fransen yang tercatat dalam Dagregister tahun 1681, suplai Sapan dari 1774 pikul hingga mencapai 15000 pikul dengan bayaran mencapai 2000rd (mata uang dahulu jika sekarang mencapai miliaran rupiah). Sejak tahun 1680 hingga 1682 masehi kerja sama Khojah Darwis dengan perusahaan Belanda terus berlangsung. Tak hanya pada bangsa eropa Khojah Darwis membuat kontrak kerja juga pada bangsa Asia Tenggara seperti China di tahun 1681 (Dagh register).
Persaingan dagang kayu Sapan antar pribumi kerap terjadi, banyak saingan yang mencoba menarik pembeli dari bangsa eropa, namun Khojah Darwis tetap menjadi pilihan mereka yang sangat bisa dipercaya. Di tahun 1682 Sultan Dompu mengirim surat ke Batavia untuk mengabarkan seorang pedagang kayu bernama Khojah Robo. Menurut penulis dalam surat tersebut Sultan Dompu ketika tahun itu adalah Abdul Hamid Ahmad mencoba mengalihkan pembelian kayu Sapan ke Khojah Robo. Keuntungan perdagangan kayu tersebut sangat menggiurkan ketika itu hingga banyak berbagai pihak juga ingin mengambil keuntungan.
Tahun itu pulau Sumbawa belum terjadi perang antar kerajaan seperti di abad 18 setelah politik antar bangsa eropa mulai memperebutkan kontrak perdagangan. Kala itu pulau Sumbawa adalah surga kayu Sapan mulai dari Portugis, Belanda dan Inggris terus melakukan kerjasama perdagangan Sapan.
Hal inipun yang membuat para saudagar kayu Sapan di Ujung Pandang (Makassar) mulai melirik pulau Sumbawa terlebih Khojah Darwis sebagai saingan dagang mereka. 1682 Karaeng Pamulikan bertemu dengan seorang Belanda untuk rencana melarang Khojah Darwis datang berdagang di Makassar. Rencana Karaeng Pamulikan gagal dilarang oleg seorang belanda tersebut karena posisi Khojah Darwis masih sangat penting di Batavia sebagai penyuplai utama Sapan.
Semakin susksesnya Khojah Darwis juga semakin banyak saingan serta musuh dalam perdagangan kayu Sapan kala itu, Sultan Sumbawa serta Sultan Bima berpihak pada Khojah yang dinilai member keuntungan besar bagi kerajaan mereka, hingga merajai perdagangan kayu Sapan. Istilah Khojah sendiri biasa digunakan pada orang-orang keturunan arab yang berdagang pada waktu itu, hingga nama depan mereka disematkan Khojah.
Oleh : Fahrurizki
Penulis Sejarah & Budaya Bima
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar