Ada sebuah kisah lampau dari Dana Mbojo kisah para tukang kayu dan sultan, dimana seorang wanita bersarung merah menarik perhatian para tukang kayu yangg sedang membangun rumah sultan, setiap wanita itu lewat dengan sarung merahnya perhatian dan fokus para tukang kayu teralihkan pada wanita tersebut hingga membuat pekerjaan mereka terlambat. Lama – lama Sultan bertanya kenapa rumahnya sangat lama dibangun? Sultan memanggil semua tukang kayu, yang akan dihadapkan dengan hukuman. Kemudian mereka mengaku bahwa perhatian mereka teralihkan karena sebuah sarung merah yang mencolok berwarna merah. Sultan tertawa mendengarnya dan akhirnya mereka disuruh bekerja lagi tanpa ada hukuman.
Sarung Bima dalam proses pengerjaan dengan motif Kakando (Foto : Mbojoklopedia) |
Kisah diatas adalah sebuah penegasan kultur identitas bagaimana sarung Bima yang sangat khas dipandang hingga menarik perhatian orang. Sarung biasa disebut oleh masyarakat Bima dengan nama Tembe. Historiografi Tembe (Sarung) sendiri di Bima sudah ada sejak abad 16 masehi dimana dalam catatan seorang pelaut asal Portugis yang bernama Tome Pires mencatat aktifitas perdagangan di pelabuhan Bima salah satu komoditinya adalah kain kasar bahan untuk Tembe tersebut. Kain kasar dahulu banyak di produksi di pulau Sangyang Api, Wera. Sudah mengenal alat tenun untuk memproduksi kain, mulai dari menanam kapas, memetiknya, mengolah hingga menjadi Kafa Na`e (benang) sedangkan benang dari pohon kapuk disebut Kafa Sebe. Proses pembuatan benang tradisional sering dilakukan oleh kaum tua di desa, namun kini proses tersebut sudah tidak ada lagi yang menekuninya sudah agak jarang dan malas karena benang pabrik memenuhi sudut-sudut pasar Bima yang dianggap cepat dan mudah.
Dalam kategori warna kain Bima hanya ada Sembilan warna yaitu kuning, hijau, biru, hitam, merah, coklat, ungu dan orange. Proses pewarnaan dahulu masyarakat Bima menggunakan pewarna secara natural dari getah pepohonan. Adapun warna kuning biasa pewarnanya dari pohon dan tumbuhan Cira (cudrania), Palawu (butterfly pea) dan Kasumba (safflower), Kasumba juga dipergunakan untuk warna merah. Untuk warna hijau juga dibuat dari Cira lalu warna biru di buat dari Dau (indigo). Dan untuk coklat digunakan dari Supa (sappanwood) juga warna merah, sedangkan warna ungu dibuat dari Nonu (Indian mulberry) juga bias coklat serta merah (Hithcock : 1989).
Pada masa lampau masyarakat Bima belum mengenal yang namanya Katente (lipat sarung) atau Tembe (sarung), mereka masih memakai kain dengan istilah Deko semacam celana hingga lutut, kain Deko bias panjang hingga dua setengah meter. Lalu masuknya tren kain dibuat sarung paska perjanjian Bungaya dimana eksodus kaum melayu yang datang ke Bima sekitar tahun 1670-an. Kedatangan kaum melayu tersebut juga datangnya revolusi kebudayaan dalam tradisi Bima, berbagai kesenian, pakaian dan ritus-ritus Islam melayu menjadi kebudayaan masyarakat Bima hingga kini. Maka masyarakat Bima mulai mengenal Katente Tembe, Salampe, dan motif pada kain.
Dalam kultur tanah Bima, warna-warna sarung mempunyai simbolis tersendiri dan identitas pemakainya. Mulai dari masyarakat, bangsawan hingga pejabat istana mempunyai masing-masing warna. Tembe Me`e (Sarung Hitam) biasa dikenakan oleh masyarakat pegunungan atau disebut Donggo, hingga kini di salah satu Desa yaitu Mbawa masih melestarikan warna dengan ciri kultur lokalnya, mereka menyebutnya Tembe Sengge yang berarti hitam dan mistik. Jika sarung merah identik dengan masyarakat perkotaan dan bangsawan atau dikenal dengan nama Tembe Bako. Namun, ada perbedaan antara Tembe Bako bangsawan dan masyarakat perkotaan, biasanya kaum bangsawan akan dihiasi motif dengan benang silver atau emas. Untuk Tembe warna Biru biasanya dikenakan oleh para “Ruma” pejabat istana, biasanya berpangkat Jeneli (setingkat camat). Namun, sarungnya komposisi biru dan hitam oleh masyarakat Bima menyebutnya Me`e Ova, adalah symbol dari kesetiaan dan kejujuran pada kesultanan (Hithcock : 1989).
Pada Tembe masyarakat Bima tidak diperkenankan motif dengan bentuk manusia atau binatang. kentalnya keagaaman (Islam) dalam kehidupan social masyarakat Bima juga di implementasikan kedalam kesenian budaya mereka. Motif-motif Bima juga terpengaruh dari kebudayaan Sumatera, Makassar serta Jawa. Motif-motif klasik Bima yang masih bertahan yaitu Kakando, Salungka dan Kapa`a, namun sayangnya motif yang sangat bercirikan Bima yaitu Nggusu Waru kini telah jarang yang menenunnya. Kakando dan Salungka banyak di pengaruhi oleh Sumatera sedangkan Kapa`a sedikit ada pengaruh Bugis yang disebut Tembe Bugi. Motif Renda sendiri awalnya adalah motif kreasi bersisi yang kemudian berakulturasi dengan warna-warna dominan sarung Bima. Renda sendiri berasal dari bahasa Malaysia Merenda atau Renda yang berarti sisi (Jasper : 1912).
Juga banyak motif-motif era kini yang banyak dikreasikan oleh para penenun, seperti kapempe, waji dan lainnya. Motif-motif Bima mulai dari yang klasik hingga kreasi diperkirakan berjumlah 50 lebih motif. Salah satu sentral tenun yang banyak mengembangkan motif baru adalah Ntobo. Cuman sangat disayangkan adalah harga-harga kain atau sarung Bima sangat tidak merata, mereka mematok harganya yang sangat tinggi, sangat beruntung jika bias mendapatkan harga murah. Oleh sebab itu kain dan sarung Bima sangat kalah saing dengan Sumba dan Lombok yang harganya sangat murah dengan kualitas yang sama juga.
Oleh : Fahrurizki
Hithcock itu nma pnulis ya bang???
BalasHapus