Kepercayaan lampau lokalitas masyarakat Bima akan roh leluhur yang paling suci yaitu disebut “Waro” bersemayam di tempat-tempat suci dan bersih, oleh mereka menyebutnya “Parafu” kini mengalami pergeseran pada pemahaman yang sebenarnya. Melalui artikel sederhana ini penulis mencoba menguraikan beberapa pemahaman yang keliru. Baik, pertama yaitu pemahaman tentang “Waro” berasal dari roh suci para Ncuhi yang telah meninggal. Sebelum ekspansi agama-agama seperti Hindu pada abad 14 dan Islam pada Abad 17, ajaran kepercayaan bagi masyarakat Bima pada waktu itu adalah sebuah nilai ketaatan pada ajaran kehidupan oleh para tetuah (sesepuh) ajaran yang sudah turun temurun di implementasikan kedalam tatanan social budaya masyarakat lampau. Ajaran leluhur itu di kenal oleh orang Bima pada saat itu disebut “Parafu Ro Waro” bukan makakamba atau makakimbi yang mempercayai semua benda atau tumbuhan di hinggapi oleh roh suci para leluhur.
Makam Pagan Bima lampau, foto disebelah Dokter Evers. (Sumber : Tropen Museum) |
Pemimpin kepercayaan Parafu Ro Waro di jabat oleh seorang Ncuhi sebagai imam besar dan di bantu oleh seorang “Ndoi”, seorang Ndoi juga mempunyai kecakapan khusus saat ritual dia bisa berkomunikasi dengan roh para leluhur. Selain Ndoi yang memimpin untuk upacara ritual keagamaan, juga di pimpin oleh seorang Ncuhi sebagai ketua komunitas yang merangkap sebagai kepala suku juga.
Ndoi juga mempunyai tugas menjaga tempat-tempat Parafu yaitu mata air, dimana dalam pemahaman pagan masyarakat lampau adalah tempat segala kehidupan bersatu. Mereka meyakini bahwa Parafu (mata air) adalah keberkahan yang diberikan oleh leluhur pada mereka. Namun sayangnya, kini masyarakat Bima lebih mengartikan Parafu adalah sebuah sesajian tempat menyembah pohon atau batu, padahal itu adalah kekeliruan persepsi yang berkembang hingga kini, sebuah kultur buatan yang kini segelintir masyarakat mengikuti persepsi keliru tersebut dengan ritual “Toho Dore” menyimpan sesajian di tempat yang dikeramatkan. Mungkin persepsi tersebut dilatari ketika para Ndoi menjaga kesucian mata air biasanya di hembuskan kisah-kisah angker untuk menakuti orang agar tidak merusak mata air atau Mada Oi tersebut.
Selain Waro dan Parafu dalam kepercayaan pagan Bima dahulu, juga mempercayai para Dewa yang mengatur alam dan keberkahan mereka untuk hidup, ada tiga Dewa yang mereka percaya yaitu Dewa Langi, Dewa Oi, dan Dewa Mango, ditulis oleh seorang antropolog Jerman Johannes Elbert dalam bukunya Die Sunda Expedition, datang meneliti di Bima pada tahun 1911. Ada satu yang penting dicatat oleh Elbert mengenai ritual kuno yaitu ketika dilanda kekeringan mereka akan mengadakan sebuah ritual sambil mendendangkan syair sebagai berikut :
“Waro Parafu, Raho-raho, Dewa Langi Sadidi Dana, Ntobo Ura Angi, Raho – raho, Busi Salama”
(Para leluhur yang suci, kami meminta, Dewa Langit yang memegang Bumi, berikan hujan dan angin, kami meminta, keberkahan.)
Ada beberapa hal yang mengkategorikan dunia gaib tempat semayam roh dalam kepercayaan Waro dan Parafu, untuk roh Ncuhi yaitu seperti yang dijelaskan tadi, berada di batu besar dan juga bersemayam di puncak pegunungan, sedangkan jiwa orang biasa harus tetap dekat kuburan mereka,” tulis Elbert.
Roh suci Waro bersemayam di atas puncak gunung oleh masyarakat Bima menyebutnya Bhuju yang kemudian di tenarkan oleh para juru tulis istana menjadi “Mbojo” atau dikenal dengan nama Dana Mbojo, sebelum Kerajaan Bima di dirikan oleh Sang Bima pada awal abad 13 Masehi pada dasawarsa ke 1, dengan Raja pertamanya Sang Bima I yang dinobatkan pada sekitar tahun 1200 Masehi. Kekuasaan Sang Bima I hanya sampai 20 tahun dan digantikan oleh anaknya Indra Zamrud yang dinobatkan pada sekitar tahun 1220 masehi (lihat Fahrurizki dalam Historiografi Bima).
Banyak beberapa anggapan dan perdebatan yang mengatakan bahwa Sang Bima adalah Gajah Mada (lihat buku Agus Aris Munandar, Gajah Mada Biografi Politik), mendirikan Kerajaan Bima setelah menaklukkan Dompu, asumsi tersebut didasari dari Hikayat Sang Bima yang di translitekan oleh Henri Chambert-Loir. Setelah penulis mengkonfirmasi kepada Henri Chambert-Loir, beliau dengan tegas mengatakan bahwa itu keliru dan naskah Hikayat Sang Bima adalah sebuah Sastra. Kemudian Profesor Agus saat dihubungi oleh penulis juga mengatakan bahwa Gajah Mada adalah Sang Bima merupakan Metafora.
Menganalogikan Sang Bima adalah seorang bangsawan yang berasal dari Kerajaan Majapahit bisa dilihat dari tahun berdirinya. Kerajaan Bima jauh lebih dulu ada di dirikan tahun 1200 sedangkan Kerajaan Majapahit berdiri pada tahun 1293 masehi. Jarak tahun kedua kerajaan tersebut 93 tahun lamanya. Gambaran tentang Sang Bima selama ini berasal dari Jawa dan sangat ambigu tidak ada catatan yang jelas mengenai dirinya berasal dari Jawa hanya dikatakan dari kayangan, dalam Hikayat Sang Bima diceritakan dia berasal dari kayangan (Hikayat Sang Bima, Hal 147), dan cerita ini semuanya mirip pada tiap-tiap cerita wayang di Kerajaan Jawa dan Bali, Hikayat Sang Bima adalah sebuah transformasi budaya di karang oleh dalang yang bernama Wisamarta pada saat era kepemimpinan Sultan Hasanuddin (1695-1731).
Hikayat ini hingga memunculkan perspektif baru dalam kultur masyarakat Bima yang meyakini bahwa sang Bima adalah keturunan Dewa maupun Jin, ditambah besarnya mistisme pada sosio religius masyarakat timur hingga menguatkan kekeliruan tersebut. Kekeliruan ini memang harus di luruskant terlebih dalam Historiografi lokal. Masih banyak memang akademisi maupun intelektual Bima yang belum memahami antara Hikayat (sastra) dan Sejarah. Hikayat sendiri adalah salah satu tradisi akulturasi Bima dengan Melayu oleh orang Bima di kenal dengan “Mpama” yang berasal dari kata umpama (Hikayat).
Oleh : Fahrurizki
Sungguh tulisan yang sangat bermanfaat bagi generasi penerus bima, karena percaya tidak percaya parafu itu di zaman yang modern ini masih ada
BalasHapusSemangat terus mengedukasi ππ