Belakangan, kemapanan finansial beserta pengelolaan keuangan di usia produktif menjadi perbincangan yang naik daun di platform media sosial. Trendingnya topik tersebut juga dipengaruhi oleh banyaknya influencer membahas cara mengantisipasi finansial yang tidak mapan di masa produktif. Konten-konten yang dihasilkan seolah-olah menarasikan bahwa masa produktif harus memiliki tabungan atau finansial yang sehat. Oleh karena itu, argumen pro dan kontra dari netizen bertebaran di kolom komentar.
Salah satu konten yang masih hangat peminatnya adalah mengenai generasi roti lapis atau generasi terhimpit (Sandwich Generation) yang kesusahan memiliki finansial yang baik. Dikatakan demikian karena generasi ini memiliki peran ganda merawat dua generasi di atas dan di bawahnya, sekaligus memenuhi kebutuhannya sendiri. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Dorothy A. Miller, seorang Profesor dan Direktur Praktikum di Universitas Kentucky, Lexington, Amerika Serikat (AS). Istilah tersebut dimuat dalam jurnal yang berjudul "The Sandwich Generation: Adult Children Of The Aging (1981)".
Dalam wacana yang beredar, generasi roti lapis sering mengeluhkan tanggungan ganda yang harus dipikul, hingga akhirnya mengorbankan kebutuhan pribadi demi kebutuhan keluarga. Cerita demikian tidak dialami oleh satu atau dua orang, tetapi banyak muncul curhatan di postingan media sosial dan tanggapan netizen yang nimbrung di kolom komentar. Lebih lanjut, kepopuleran generasi sandwich diikuti juga dengan tenarnya pemikiran childfree. Salah satu alasannya adalah ketakutan tidak mampu memberikan ekonomi yang mapan pada anak. Penganut childfree menganggap bahwa anak adalah bukan investasi masa depan. Meskipun pemikiran seperti ini tidak sepenuhnya salah, namun pemikiran yang tampak agak skeptis ini muncul akibat dari pribadi yang pesimis akan finansial di masa tua dan khawatir membebankan tanggung jawab kepada anak.
Diskusi tentang generasi terhimpit terasa agak tidak seimbang apabila hanya berfokus pada sisi negatifnya. Sebagai penganut budaya timur yang kental, sebelum media sosial menjalar sampai ke wilayah yang pelosok, masyarakat Indonesia mempraktekkan situasi generasi roti lapis sudah sejak lama. Secara umum, hubungan orang tua dengan anak masih erat walaupun anak sudah menikah dan memiliki rumah masing-masing. Hal tersebut juga ditopang oleh kebiasaan Masyarakat Indonesia yang hidup berdekatan dengan keluarga. Rumah dibangun berdekatan dengan keluarga lain. Perilaku demikian bisa dilihat dari beberapa suku yang sampai membentuk komunitas dan wilayah sendiri di daerah yang bukan wilayah asli dari sukunya. Dampak positif dari aktivitas seperti ini adalah ikatan keluarga yang erat antar generasi dan solidaritas sosial yang kuat. Selain itu, pribadi yang memiliki peran ganda berkesempatan untuk mengembangkan diri menjadi individu yang tangguh dan pandai menghadapi peluang melalui survival Instinct yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup.
Meskipun secara umum disepakati bahwa generasi sandwich merujuk pada mereka yang memiliki tanggung jawab terhadap keluarga yang lebih tua dan lebih muda, dalam tulisan ini generasi roti lapis diartikan sebagai tanggung jawab terhadap keluarga yang masih hidup dan sudah meninggal. Sebagai contoh, lagu "Sarompi Mpida" dari Suku Bima dapat diartikan sebagai representasi perilaku generasi sandwich yang tetap berbakti dua keluarga, yaitu yang masih hidup dan sudah meninggal. Selain itu, lagu tersebut juga mengandung lirik untuk membangun semangat dalam menghadapi tantangan menjalankan peran ganda generasi roti lapis.
Dambe-dambe, mai ta lao mena
(teman-teman ayo kita pergi)
Ta laoku tio rade abu tua
(pergi menziarahi makam kakek)
Kili sai ku sarompi mpida
(pungut serpihan/ranting kayu)
Di mbako kai ina madu mpedu
(untuk ‘nenek’ ina madu mpedu memasak)
Lampa mena, mai talao mena
(ayo jalan, ayo pergi)
Mbewa mena, pasapu monca
(kibarkan, sapu tangan kuning)
Lampa mena, mai talao mena
(ayo jalan, ayo pergi)
Mbewa mena, pasapu monca
(kibarkan, sapu tangan kuning)
Sarompi ede, di kandede kai
(serpihan/ranting kayu itu, untuk memperpanjang)
mori ra woko ina madu mpedu
(kehidupan ‘nenek’ ina madu mpedu)
Dalam bait pertama lirik lagu Sarompi Mpida, tergambar seorang tokoh yang mengajak teman-temannya untuk menziarahi makam abu tua (kakek) sekaligus merawat ina madu mpedu. Mendatangi makam, dalam tradisi masyarakat Bima, adalah rutinitas setiap kamis sore menjelang magrib. Hal ini dilakukan dengan tujuan merawat kuburan agar tetap baik sekaligus mendoakan ahli kubur. Selanjutnya, dalam perjalanan mereka, si tokoh mengajak untuk memungut ranting kayu guna ina madu mpedu memasak. Melalui tindakan ini, dapat dilihat bagaimana perilaku yang mencerminkan mengambil peluang di tengah tantangan terhimpitnya menjadi generasi sandwich.
Berada dalam situasi ini, generasi terhimpit diberi kesempatan untuk menjalin kedekatan emosional yang kuat dengan orang tua. Saat merawat dan menafkahi orang tua seperti memungut kayu untuk ina madu mpedu, generasi sandwich dapat mempererat ikatan keluarga dan memperkuat hubungan antargenerasi. Di samping itu, mereka juga menjaga dan mencontohkan rasa saling membantu dan berbakti kepada generasi berikutnya. Semisal, masyarakat Bima umumnya membangun pondok yang cukup besar ketika berladang. Tujuannya adalah sebagai tempat berkumpulnya keluarga yang terdiri dari mertua dan anak ketika pergi ke ladang. Hal ini menjadi salah satu yang perlu disyukuri karena hanya masyarakat budaya timur yang mempraktekannya.
Lebih lanjut, di bait kedua, tidak tampak adanya keberatan dari tokoh dalam lirik ini, sebaliknya, ia justru merayakan keadaan tersebut sambil mengibarkan pasapu monca. Ini menggambarkan sikap positif yang penting dalam menghadapi peran ganda ini. Si tokoh mengajarkan bahwa setiap individu perlu melakukan kedua hal tersebut, yaitu merawat dan menghormati kedua generasi, sambil tetap berupaya mencari peluang yang dapat diambil. Hal ini memberikan inspirasi bagi para generasi kini untuk melihat sisi positif dari peran mereka dan memanfaatkan peluang yang ada di tengah-tengah tantangan.
Merawat dua generasi memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkembang secara pribadi. Mereka akan terlatih dalam mengembangkan keterampilan dalam mengimbangi berbagai peran dan tanggung jawab yang diemban. Selain itu, mereka juga belajar memecahkan masalah dengan lebih efektif dan menjadi lebih adaptif terhadap perubahan yang terjadi. Dalam proses ini, mereka juga meningkatkan kapasitas empati, kesabaran, dan pemahaman yang mendalam terhadap kebutuhan orang lain.
Generasi sandwich, dengan tanggung jawab ganda, seringkali dihadapkan pada tantangan yang kompleks. Dalam budaya timur seperti di Indonesia, generasi sandwich mencerminkan nilai-nilai gotong royong dan saling menguatkan. Melihat peran generasi sandwich dalam Sarompi Mpida membawa kita pada pemahaman baru. Di situ terlihat tokoh mengatasi tantangan dengan sikap positif sekaligus memanfaatkan peluang. Mari kita menjaga identitas kita sebagai masyarakat yang solid dan mengabaikan pengaruh budaya asing apalagi sampai harus tidak mencetak generasi (chilfree).
Penulis: Arila Kasipahu, saat ini sedang menempuh pascasarjana di UGM. Penulis lahir di Bima dan pengetahuan sastranya ditempa oleh Unmul, SLB, JPK, dan beberapa hal lain yang tidak dituliskan di sini. Tertarik menulis esai dan karya sastra beserta analisis kritisnya yang dimuat di koran dan media daring lokal.
0 comments Blogger 0 Facebook
Posting Komentar